Part 10

534 44 6
                                    

*EVAN’S POV*

Aku menutup pintu kamarku, dan menyalakan lampu. Lalu berbaring melepas penatku di atas empuknya ranjang tempat tidurku. Aku menyentuh bibirku, tadi aku mencium Aldi tanpa berpikir panjang. Apa yang telah kulakukan? Aku sudah menciumnya dan mengungkapkan perasaanku hingga membuatnya marah, dan mungkin ia takkan pernah memaafkanku. Aku ini memang bodoh, selalu saja bertindak gegabah tanpa memikirkan perasaan Aldi. Selalu saja mencampuri urusannya. Tapi aku melakukannya karena aku ingin membantunya, melindunginya. Dan kupikir aku memang mencintainya.

Teringat saat pertama kali aku bertemu dengan Aldi, sikapnya yang dingin dan acuh menarik perhatianku. Dibalik sikapnya yang acuh itu, dia ternyata adalah manusia yang rapuh. Ia membutuhkan seseorang untuk mendukungnya, mengatasi ketakutannya terhadap manusia lain. Dan karena itulah aku bertekad untuk melindunginya dan mendampinginya. Mungkin karena itulah, aku mencintainya. Perkataan Sena semakin menyadarkanku bahwa aku mencintai Aldi. Tapi perasaan ini mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan.

Tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Siapa ya yang datang malam-malam begini? Mungkinkah... Aldi? Aku pun langsung berlari menuju pintu depan dan membuka pintu. Ternyata itu bukan Aldi, tetapi mamaku yang datang dari London. Aku kecewa, padahal aku sudah berharap kalau itu Aldi yang datang untuk berdamai denganku.

“Evan... Bagaimana kabarmu?” tanya mama.

“Kenapa mama ke sini?”tanyaku sambil meletakkan segelas teh di meja untuk ibuku.

“Evan..., ayo kita kembali ke London, nak!”

I don’t wanna go back to London mama, please... Aku sudah lelah dengan semua perlakuan kakek terhadapku. Aku memang tidak sepintar Kak Steve, yang selalu juara kelas dan mendapat beasiswa ke Harvard.”

“Evan, dengarkan penjelasan mama!”

“Dan aku... hanyalah anak hasil hubungan gelap Mama!”

Plak! Mama menamparku cukup keras. Namun beberapa saat kemudian ia memelukku.

“Jangan berkata seperti itu! Kamu itu masih anak mama, dan kamu tetaplah anak mama. Mama tidak akan membiarkan kamu menderita, sayang,” kata mama.

“Kalau aku kembali ke London, aku pasti akan berdebat dengan kakek lagi...,” kataku.

“Evan, kakekmu sudah menyadari kesalahannya... Kakek ingin kamu kembali lagi ke London dan setelah kamu lulus kamu bisa kuliah atau membantu kakek mengelola bisnisnya. Ia tidak akan menyalahkanmu dan mengungkit-ungkit soal asalmu lagi. Kamu harus kembali ke London, Evan. Karena di sanalah rumahmu yang sebenarnya.”

Mama terus-terusan membujukku untuk kembali ke London. Aku jadi teringat oleh Aldi, bagaimana nasibnya nanti jika aku kembali ke London? Ah, tapi karena kejadian tadi ia mungkin sudah tidak mau melihat wajahku lagi.

*ALDI’S POV*
Hari minggu pagi, seperti biasa aku masih bermalas-malasan di tempat tidurku yang nyaman. Apalagi pagi ini udara dingin sekali, aku ingin terus mendekam di selimutku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, sepertinya ada pesan masuk. Aku membuka hpku, ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Aku tidak kenal nomor ini... Siapa ya? Aku pun membuka pesan itu.

Apa kita bisa bertemu hari ini?
-Sena

Ternyata itu pesan dari Sena. A-apaaaa???? Bagaimana dia bisa tahu nomorku? Aku kan sudah lama mengganti nomorku sejak lulus SMP. Ah itu tidak penting! Yang paling penting sekarang adalah bagaimana aku membalas pesan ini? Apa aku harus menerima ajakannya? Atau tidak? Aaaah......., apa yang harus kulakukan? Tiba-tiba muncul lagi pesan baru dari Sena.

Maaf tiba-tiba saja mengajakmu begini, aku harap kita bisa berbaikan...

Mungkin ini saatnya aku memperbaiki hubunganku dengan Sena. Dengan begitu, aku mungkin bisa menyelesaikan semua masalahku. Akhirnya aku pun setuju dengan ajakan Sena. Kami bertemu di tempat biasa kami dulu bertemu saat janjian, di alun-alun kota.

“Aldi!” sapa Sena saat aku bertemu dengannya.

“Oh..., hai...,” balasku sedikit gugup, sudah lama sekali aku tidak berbicara dengannya seperti ini.

“Ahaha..., rasanya agak canggung ya? Tapi aku senang kamu mau bertemu denganku. Ada pertandingan sepakbola di stadion, letaknya agak jauh sih tapi aku bawa motor jadi kita bisa ke sana lebih cepat.”

“Oke...”

Setelah aku menaiki sepeda motor Sena, Sena memegangi tanganku.

“Sini peluk tubuhku supaya kamu tidak jatuh,” pinta Sena.

“I...iya...,” kataku.

Jantungku berdegub kencang sekali, begitu aku memeluknya. Aku ingin moment ini berlangsung selamanya. Tapi, kurasa aku tidak boleh berharap terlalu tinggi. Akan menyakitkan bila harapanku hancur begitu saja. Aku hanya ingin menikmati momen-momen yang bisa kunikmati selagi bisa. Ah, aroma tubuh Sena, ternyata masih belum berubah dari dulu. Aroma yang selalu kurindukan, aroma yang selalu menenangkanku.

To Be Continued

SociophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang