Part 4

725 62 2
                                    

*ALDI’S POV*

Aku tidak menyangka Evan akan menanyakan tentang Sena padaku. Mungkin ibu mengatakan sesuatu tentang Sena pada Evan. Sudah cukup dia menghantuiku, jangan ada orang yang menyebut nama itu lagi. Aku sudah berusaha sangat keras untuk bisa melupakan dirinya. Kalau saja aku bisa menghapus ingatanku, mungkin saja beban hidupku akan lebih ringan. Dan aku bisa menjalani kehidupan normal layaknya manusia biasa. Bercengkrama dengan teman, mencari tambatan hati, sama seperti yang lain.

Hari ini, hari pertama kali aku mengikuti KBM setelah berhari-hari melaksanakan kegiatan MOS. Sena selalu menemaniku, ia benar-benar anak yang ramah dan murah senyum. Dia juga memiliki banyak teman di sekelilingnya. Dia seperti punya aura untuk menarik orang lain mendekat padanya.

“Temanmu banyak juga ya... Aku jadi iri...,” kataku.

Sena tersenyum, tetapi senyuman itu mengandung kesedihan di dalamnya.

“Ya..., mereka hanya sekedar teman. Manusia yang selalu mengelilingiku tanpa tahu topeng yang kukenakan.”

“Sena..., kamu....”

“Ah, aku ini ngomong apa? Yuk, kita lihat pembagian kelas!”

“Ah..., iya.”

Sena menarikku berjalan menuju papan pengumuman. Mata kami mencari-cari nama kami di setiap lembar kertas berisi informasi pembagian kelas yang tertempel di papan.

“Ah... aku di kelas D ternyata,” ujar Sena.

“Kalau aku... ah, kelas A,” ujarku.

“Ah, sayang sekali kita nggak di kelas yang sama.”

“Iya.”

“Teman-temanku beda kelas semua, aku sendirian. Apa aku bisa dapat teman ya?”

Aku menepuk pundak Sena.

“Tenang, aku yakin kamu pasti bakal dapat banyak teman di sana,” kataku.

Sena hanya terdiam, lalu matanya kembali fokus mengamati pengumuman pembagian kelas.

“Di kelasku laki-lakinya ada 1,2,3,.... Dias ini nama laki-laki apa perempuan ya?” tanya Sena.

“Laki-laki...,” jawabku.

“Tau dari mana?” tanya Sena.

“Dia teman sekelasku dulu. Lah, ngapain dikira-kira dan dihitung satu-satu? Kan ada keterangan jenis kelamin di sini! Terus di sini juga udah ada jumlahnya nih, laki-laki 15 perempuan 17.”

Aku menunjuk ke kolom jenis kelamin dan juga keterangan jumlah murid laki-laki dan perempuan. Sena menepuk lenganku cukup keras.

“Oh iya, ya! Duh aku ini gimana sih? Ya udah ayo balik ke lapangan upacara!” ajak Sena.

Aku hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalaku melihat tingkahnya. Sena ternyata bisa kikuk seperti ini. Kami segera kembali ke lapangan upacara dan diberi pengumuman tentang lokasi dan ruangan yang akan kami tempati. Sekolah ini punya banyak murid tapi karena ruangannya kurang, sekolah ini mengadaptasi sistem moving class. Jadi setiap ganti mata pelajaran, kami akan berpindah ruangan. Jadi ruangannya tidak tetap. Pengumuman selesai, waktunya untuk menempati ruangan masing-masing. Ini saatnya, aku dan Sena untuk berpisah.

“Aku di ruang 110,” ujar Sena.

“Kalau aku, lab fisika. Di mana itu?” tanyaku.

“Entahlah, aku juga nggak tau, Di...”

Sena menepuk bahuku pelan.

“Di, aku pergi dulu,” ujar Sena pamit.

“I-iya...,” kataku.

Sena melangkahkan kakinya, meninggalkanku sendirian di kerumunan manusia. Ia semakin menjauh, dan menjauh dari jangkauanku. Kukira berbeda kelas bukanlah perbedaan yang berarti. Dugaanku salah, sampai akhirnya Sena benar-benar menjauh dari jangkauanku.

Aku terbangun dari mimpiku, mimpi burukku tentang masa lalu. Kuharap ini hanya mimpi, tapi ini bukanlah mimpi. Ini kenangan yang selalu ingin kulupakan, tapi malah terus muncul di mimpiku atau di setiap lamunanku. Jika saja ini hanya mimpi, aku tidak akan merasa menderita seperti ini.

Setelah kami berpisah kelas, Sena terasa semakin menjauh dariku. Aku harus menghafal letak kelasnya setiap berpindah jika aku ingin melihatnya, dan aku hanya bisa mengetahuinya jika kelasnya dekat dengan kelasku. Aku malu jika harus bertanya langsung dengannya. Aku masih sering mengobrol dengannya lewat media sosial. Tapi, kurasa semua itu masih belum cukup. Aku, aku ingin melihatnya. Aku ingin bertemu dengannya. Sena yang pertama kali memberiku senyuman saat pertama kali kulangkahkan kaki di sekolah ini. Kedatangannya membuat hatiku tenang, seolah memberi harapan bahwa aku bisa memiliki teman di sekolah ini.

Tapi Sena tidak terlihat seperti ia masih membutuhkanku. Dia dikelilingi banyak orang di sekitarnya, teman-temannya. Dia selalu bisa menarik orang lain untuk mendekatinya. Sena memang selalu bisa mendapatkan teman di manapun dia berada. Seperti itulah dirinya, berbanding terbalik denganku yang pendiam dan susah bergaul.
    
Mungkin hanya aku yang menganggapnya sebagai teman, tapi tidak dengan Sena. Kurasa kini aku harus menjauhinya. Aku juga tidak ingin menganggu kehidupannya. Dia pasti sudah merasa cukup memiliki teman-teman yang baik dan juga bisa membuatnya tersenyum. Aku selalu memperhatikan Sena dari jauh. Ia selalu bisa tersenyum saat sedang bersama teman-temannya. Apa jika ia bersamaku, ia akan bisa tersenyum seperti itu? Mungkin tidak.

To Be Continued

SociophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang