21 : [ H-1 ] Terimakasih?

3.8K 777 21
                                    

"Mih, Seonho mau pinjem uang."

"Buat apa? Kamu mau beli makan?"

"Buat biayain kak Guanlin."

"Oh?.."

"Boleh?"

"Uangnya mamih transfer ke rekening kamu,"

Rumah sepi, Jihoon sendirian lagi. Makin kesini, hidupnya seolah makin suram.

Pertama, Guanlin koma.

Kedua—

"Hoon?"

"Hum?"

Jihoon noleh, lihat Jinyoung yang bawa setumpuk baju yang udah dilipat rapi.

"Jangan ngelamun."

"Ya,"

Jinyoung berniat balik ke kamar, tapi Jihoon interupsi gerakan. "Om mau... pergi?"

Senyum simpul yang di dapat, nggak bikin Jihoon sepenuhnya tenang tentunya.

"Ya, ternyata universitas di Jakarta terima aku."

"Kenapa ga bilang gue?"

"Loh? Emang... harus?"

Jihoon diam, betul juga, memangnya harus?

"Ga sih, cuma.."

"Kesepian?"

Jihoon benci, tapi nggak ada alasan buat nggak angguk.

Jinyoung taruh pakaian di meja dekat sofa, duduk di sebelah Jihoon yang diam.

"Maaf, tapi—"

"Ga papa kali, lagian bagus juga. Kan gue yang nyuruh lo pindah,"

Jinyoung diam buat beberapa saat, setelahnya senyum kecil dan angguk beberapa kali. "Ya, kamu pasti orang baik, doanya langsung dikabul."

Jihoon ketawa, "Perihal Guanlin, belum dikabul. Atau gak didenger? Hhh, capek."

"Pasti didenger, cuma waktunya belum tepat. Jangan bersikap seolah tuhan yang salah, dibanned dari dunia tau rasa kamu."

Jihoon ketawa kencang, moodnya lumayan naik kali ini.

Ah, sayangnya seseorang mulai terasa berhaga waktu orang itu pergi atau pengen pergi.

Nggak tepat. Selalu.

"Gue gak salahin tuhan, tapi gue marah sama keadaan. Semuanya nggak tepat, waktu gue butuh lo, lo pergi. Waktu gue beneran benci lo ada disini, lo stay disini."

Jinyoung sandarin punggung di badan sofa, lengannya bersinggungan sama lengan Jihoon. Posisi nyaman buat Jinyoung sebenernya, cuma, ah- Jinyoung udah coba lepas.

"Kalo menurut kamu segala sesuatu nggak tepat, ya, bener. Aku juga rasain, buat hadapinnya kamu cuma butuh ikhlas,"

"Tau deh yang tua, lebih banyak makan garem."

"Ini serius. Ikhlas itu susah, yang bantu itu waktu."

Jihoon ketawa, "Kan, nge-guruin lagi."

"Bukan nge-guruin. Tapi menurut cerita aku, emang begitu."

Dan nggak beruntungnya, kamu jadi pihak yang harus aku ikhlasin.







.
.
.

Malam minggu, sialnya harus dihabisin di ruangan berbau obat.

Ini hari ketiga Guanlin tidur, dan Jihoon orang yang sering jenguk setelah orang tua Guanlin.

"Tan,"

Ibu Guanlin yang lagi usap muka anaknya pakai handuk kecil warna biru dongker yang dibasahi noleh ke arah Jihoon, senyum dan balik fokus ke aktifitasnya.

"He, Jihoon. Sini, temenin tante,"

Jihoon senyum, tatap Guanlin yang tetap diam. "Gimana Guanlin?"

"Kata dokter kondisinya mulai stabil, udah bagus kok, tinggal tunggu kapan dia mau bangun aja."

Jihoon senang jelas, hampir mau nangis kalau nggak inget malu. "Biaya.. gimana?"

"Loh? Tante kira kamu yang bayarin."

"H-hah?"

"Tante mau bayar, tapi kata resepsionis tagihannya udah lunas. Ini justru ada kiriman buah, tante kira kamu udah kesini sebelum tante dateng,"

Jihoon diam, cerna. Bener, kalo bukan Seonho itu nggak mungkin.

Ting!

Buka hape dan lihat notifikasi masuk, tapi destinasinya bukan itu sekarang.

Setelah selesai, beralih senyum terus usap kepala Guanlin sayang. "Ya syukur udah ada yang mau repot bayar, uang tante selamet,"

Ibu Guanlin ketawa, "Harusnya tante tau siapa yang bayar, tante mau terimakasih."

"Ya, orangnya pasti tau tante terimakasih banget."

"Yaudah, temenin tante aja disini, nanti agak malem tante pulang mau ambil baju."

Jihoon angguk, beralih masukin tangan ke saku celana, teken tombol stop di perekam suara.

Buka aplikasi LINE dan kirim rekaman tadi.

Jihoon : [File]
Jihoon : makasih, ho
read

Harusnya, Guanlin sadar. Beruntungnya disayang banyak orang, terutama dua manusia berlabel 'disayang' dan 'pernah disayang' sekaligus.


—: s o h i b ;—


kangen update huhu. sibuk baca wetped sampe bego. work kak lianaaapark dabest sekali gue menangoss. kepoin juga si tai nih boylak dun ya mslh promot mempromot.


sohib › pw. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang