____
Sebuah earphone terpasang di kedua telingaku sejak tadi. Pilihan lagu galau yang terputar dari spotify seolah mendukung suasana hatiku. Tak ada lagu tentang anak kepada kedua orangtuanya. Semua tentang lagu tentang cinta kepada lawan jenis. Bukan diriku yang aku bayangkan, tetapi Mama dan Papa sehingga aku bisa ikut merasakan.
Mungkin sudah hampir setengah jam aku duduk di trotoar sambil menangis. Ini sudah biasa. Sudah sering aku lakukan jika kabur dari rumah kemudian kembali beberapa jam kemudian. Tak peduli tengah malam. Yang aku lakukan di luar rumah adalah mencari tempat entah di depan umum atau di mana pun untuk meluapkan semua air mata dan emosiku yang tidak bisa aku tahan lagi.
"Kenapa sih hidup gue gini banget?" Aku nyaris berteriak jika saja aku tak sadar bahwa aku sedang duduk di trotoar depan minimarket yang buka 24 jam. Aku rasanya ingin terus menangis, tapi entah karena alasan apa. Sesenggukan yang terdengar dari mulutku membuatku segera membekap mulutku sendiri.
Aku menumpukan kedua lenganku di atas lutut yang terlipat. Pandanganku tertuju ke jalanan yang untungnya bukan jalan utama. Meski sweter sudah aku pakai, meski rambutku sudah kubiarkan terurai untuk menutupi bagian depan leherku yang tak tertutupi apa-apa, meski tudung sweter ini sudah membungkus kepalaku, tapi rasanya tetap dingin. Entah hawa apa yang ada di sini. Rasanya aku menggigil dan perasaanku tidak enak. Mataku juga terasa panas entah sejak kapan. Refleks kupegang dahiku, agak hangat.
Aku menghirup oksigen yang tercampur polusi dan mengembusnya lalu berdecak. Air mataku kuhapus dengan sweter yang kebesaran di tubuhku. Ini sweter Papa. Sweter kesukaanku sejak aku masih kecil yang selalu aku pakai ketika keluar dari rumah di malam hari tanpa sepengatahuan Papa.
Botol mineral yang tadi kubeli di minimarket tinggal setengah. Aku mengambilnya kembali di sampingku dan memeluknya. Pandanganku tak sengaja tertuju ke samping dan agak kaget melihat cowok yang berdiri tak jauh dariku.
Aku yakin tidak salah lihat, tadi ketika aku menatapnya, dia cepat-cepat menatap ke lain arah.
Apa tadi dia memerhatikanku sedang menangis di sini seperti orang gila?
Kuperhatikan sekali lagi cowok itu. Dia memakai hoodie hitam dan menggunakan tudungnya di kepala sehingga aku tidak bisa melihat bagian kepala belakangnya. Namun, dari samping hidungnya dan sebagian wajahnya masih kentara. Hanya sebagian. Tak sepenuhnya sehingga jika aku bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya, rasanya akan sulit untuk mengenalinya lagi.
Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku hoodie. Dia juga memakai celana jeans hitam. Sepatu hitam. Jam tangan hitam.
Serba hitam.
Aku bergidik. Ya wajar bagi cowok-cowok yang kebanyakan menyukai warna netral itu, kan? Ah, lagipula untuk apa juga aku memikirkan orang asing itu.
Aku kembali menatap ke depanku sambil menyangga daguku pada lutut. Namun, setelah beberapa detik yang aku lakukan hanya diam. Rasanya tak leluasa melampiaskan tangisku lagi. Aku merasa seperti diperhatikan oleh cowok yang memakai hoodie itu.
Jangan-jangan dia penjahat?
Aku segera menggeleng. Geigi! Kenapa sih lo mikir yang nggak nggak?
Tapi rasanya risi juga lama-lama. Karena aku masih bisa merasakan kehadiran cowok itu di sana. Aku menggigit bibir. Sudah puluhan kali aku berada di luar rumah sendirian malam hari, tapi baru kali ini aku takut.
Lalu sekarang aku merasa seperti diperhatikan oleh cowok itu.
Aku menoleh cepat-cepat, sengaja ingin menangkap basah dirinya yang sedang menatapku diam-diam supaya dia langsung cepat mengalihkan perhatian dan merasa tidak enak, mungkin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Teen Fiction[SELESAI] Pernahkah kamu merasakan takut berlebihan pada sesuatu yang sepele? Kalau, ya. Kita sama. Aku takut jatuh cinta dan aku juga takut tidak bisa merasakan cinta. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan. Berawal dari tragedi terlambat olimpiade memb...