intro: Sebelum lanjut, tebak-tebakan yuk? yang nembak Geigi siapa, ya? Bakalan diterima nggak ya?
____
"Tanpa kamu mau, tanpa kamu pikirkan, cinta itu bisa datang kapan saja. Kamu nggak harus memikirkan kapan kamu bisa jatuh cinta dan kepada siapa kamu harus jatuh cinta. Begitu, Geigi."
Masih teringat ucapan Mama lebih dari satu tahun yang lalu saat aku bertanya tentang cinta. Di dalam apartemen, aku duduk menatap gedung-gedung pencakar langit lewat dinding kaca bersama Mama saat itu, di mana waktunya aku menghabiskan waktu bersama Mama setelah berminggu-minggu tidak bertemu.
Bersama Mama aku punya banyak cerita. Bersama Papa aku tak bisa bercerita banyak. Papa yang tegas. Papa yang lebih banyak diam. Papa yang membuatku sungkan. Di depan Papa, aku seperti berhadapan dengan seorang petinggi yang harus dihormati tanpa harus diajak bercanda ria seperti apa yang biasanya aku lakukan bersama Mama sesekali.
Orang bilang aku kaku. Datar. Tak banyak bicara. Disaat orang-orang tertawa, aku hanya akan tersenyum sebagai bentuk tawa. Disaat orang-orang bercerita, aku hanya sibuk menjadi pendengar. Disaat orang senang sibuk melakukan pertemuan, aku memilih untuk menolak pertemuan dan menghabiskan waktu di kamar seharian.
Sekarang, aku justru bertemu dengan orang-orang yang pernah asing di hidupku. Dulu, aku tak suka berteman dengan laki-laki. Entah kenapa. Aku hanya tak suka. Mereka banyak tingkah, seperti beberapa teman laki-laki saat aku masih SMP atau teman-teman kelasku yang sangat berisik.
Oh, mungkin karena Dirgam sifatnya hampir sama denganku. Tak suka dengan kebisingan.
Aku masih berdiri di teras. Sepanjang waktu ini yang kulakukan hanya melamun dan sesekali memandangi pesan Mars yang belum kubalas satu pun. Aku memilih untuk tidak membalas pesan Mars. Lebih tepatnya aku belum ingin membalas pesan Mars. Aku akan membalas pesan Mars nanti atau entah kapan.
Aku belum tahu apa yang harus aku katakan kepada Mars.
"Lo udah mau pulang?"
Aku menoleh. Dirgam berdiri di ambang pintu dan menatapku dengan alis terangkat. Sepertinya, aku memang harus pulang sekarang.
Aku mengangguk. "Iya, deh, kayaknya."
"Lo sakit?" tanya Dirgam sambil mendekatiku. Aku hanya menggeleng. "Muka lo nggak kayak sebelumnya."
"Enggak, kok." Aku tersenyum. Apa aku terlihat sakit? Entah bagaimana Dirgam bisa menyimpulkan hal itu.
"Masuk, yuk? Nyokap gue masih mau ngomong sama lo. Habis itu, gue anter lo pulang."
"Thanks, ya, Gam."
Dirgam hanya mengangguk dan melangkah lebih dulu. Aku mengikutinya di belakang. Saat tiba di ruangan tengah, aku melihat Tante Rini dan Ayna berbincang. Ayna tertawa sambil memeluk mamanya. Dia sudah mengganti seragam SMP-nya dengan celana selutut dan kaos berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga di bagian depan kaosnya.
Tante Rini menatapku dari sana. "Geigi, sini sayang!"
Aku hanya tersenyum canggung dan mempercepat langkah.
"Kak Geigi! Jangan cepet-cepet pulang, ya! Aku masih mau ngobrol, tauk!" teriak Ayna setelah melepas pelukannya dari mamanya. Ayna menarikku untuk duduk di antara dirinya dan mamanya.
Di tengah-tengah perbincangan kami sebagai perempuan, saat kutatap Dirgam yang duduk di sofa lain, dia hanya tersenyum memandangku. Aku balas tersenyum tulus dan menatapnya lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Ficção Adolescente[SELESAI] Pernahkah kamu merasakan takut berlebihan pada sesuatu yang sepele? Kalau, ya. Kita sama. Aku takut jatuh cinta dan aku juga takut tidak bisa merasakan cinta. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan. Berawal dari tragedi terlambat olimpiade memb...