___
Saat aku terbangun dari tidurku, Papa yang ada di pikiranku pertama kali. Aku baru bisa tidur pukul tiga pagi dan sekarang sudah lewat pukul empat. Kulirik pintu, tapi aku ragu Papa sudah pulang. Karena jika Papa pulang, Papa pasti membangunkanku atau menggendongku ke kamar. Biasanya seperti itu. Akan tetapi, aku tidak tahu apakah akan sama setelah apa yang terjadi semalam.
Kupandangi lubang kunci pintu. Pintu tidak terkunci sama sekali. Aku bangun mencari Papa di dalam. Kamar Papa kosong. Berkali-kali aku memanggil Papa, tetapi tak ada suara Papa yang kudengar. Ruangan-ruangan di dalam juga gelap.
Papa belum pulang. Iya, Papa benar-benar belum pulang. Kenapa? Padahal Papa sangat tahu bahwa aku takut tinggal sendirian di rumah. Apa Papa mau menghukumku?
Aku kembali ke sofa, duduk memandang ke jendela. Semalam aku mengatakan kepada Mars bahwa Papa sudah di perjalanan dan sudah dekat. Kemudian yang kutahu Mars sudah menyalakan mobilnya dan aku hanya berbaring di sofa. Tak melihatnya sama sekali. Aku pikir dia sudah pulang.
Kukatakan seperti itu karena aku dan Mars mengobrol lewat telepon hampir satu jam dan belum juga ada tanda-tanda Papa akan pulang. Aku telah berbohong kepada Mars karena kuyakin dia pasti lelah sendirian di luar, di tempat yang terbuka meski kutahu dia adalah laki-laki. Namun, perasaan tak enak hati menyerbuku meskipun berulang kali Mars mengatakan dia tak keberatan berada di luar sendirian.
Ponselku berbunyi tanda pemberitahuan pesan masuk. Aku cepat-cepat melihat siapa pengirimnya.
Mars
Semalam bokap lo yang bohong ke elo atau lo yang bohong ke gue?
Aku terpengarah. Kutatap gorden jendela. Hanya lampu jalanan yang terlihat di luar sana memantul lewat kaca hitam jendela itu. Aku segera menghubungi Mars. Mars segera menerima panggilan dariku.
"Halo?" sapaku. "Kok lo tahu bokap gue belum pulang?"
"Gue dari semalam di sini, tapi bokap lo nggak datang-datang, tuh."
"Hah?" Aku segera membuka pintu dan keluar dari rumah. Mobilnya benar masih ada. Padahal semalam aku mendengar mobilnya bunyi. Aku berhenti di balik pagar dan melihat Mars bersandar didepan mobil sambil menggeggam sebuah ponsel. Aku mengakhiri panggilan dan menatap Mars bingung.
"Lo nggak pulang-pulang?" tanyaku. "Nggak tidur?"
"Tidur, kok," katanya.
"Terus ngapain lo di situ terus? Kenapa nggak pulang?" tanyaku khawatir. Bagaimana mungkin Mars di luar rumah seperti ini.
Dia malah tertawa. "Udah biasa kok tidur di alam bebas."
Ah aku lupa. Dia kan pecinta alam. Aku pernah beberapa kali melihat anggota-anggota SISPALA yang bersiap berangkat naik gunung, tapi kenapa wajah Mars tak pernah teringat di benakku?
Aku menarik pagar, tapi susah. Kulihat gemboknya yang ternyata masih terkunci. Aku harus kembali ke rumah untuk mengambil kunci, tetapi melihat Mars berjalan ke arahku membuatku mengurungkan niat untuk kembali masuk ke rumah.
Rumi pernah menyuruhku memerhatikan seorang cowok dengan intens. Lewat penampilan bisa membuat Rumi tertarik atau tidak. Kuperhatikan Mars dari atas sampai bawah. Dia sama saja dengan cowok lainnya. Penampilan cowok juga tidak jauh-jauh dari memakai kaos dan celana jeans. Mars memakai kaos hitam dengan sebuah motif lingkaran berwarna putih di bagian depan kaosnya. Juga celana jeans. Kemudian yang mencolok adalah jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya.
Jam tangan itu beberapa kali kulihat di pergelangan tangannya dan aku merasa tak asing. Ah, semua cowok memang suka memakai jam tangan hitam, kan? Atau hanya perasaanku saja?
Kutatap Mars. "Kenapa?"
Dia berhenti di balik pagar dan menatapku lurus-lurus. "Jujur sama gue," katanya menjeda. "Lo beneran udah ditembak sama cowok yang waktu itu nganter lo pulang? Dirgam atau ... siapa namanya gue agak lupa."
Aku terdiam. Mars tahu dari mana?
"Gi...."
Panggilan Mars membuatku tak tahu harus mengatakan apa. Aku menunduk memandang kakiku yang tak mengenakan apa-apa. Aku sampai lupa memakai sandal.
"Oke," kata Mars.
Kutatap Mars kembali. Apa yang harus aku jawab? Aku tidak tahu bagaimana waktu itu. Apakah aku sudah menolak Dirgam atau memberinya waktu. Aku lupa. Yang aku ingat, Dirgam masih menungguku.
Untuk apa aku bertemu dengan Kak Saga jika aku sudah pasti menolak Dirgam? Bukankah aku memang berpikir masih ingin menjawab pertanyaan dari Dirgam waktu itu? Dan untuk apa aku ingin Mars dan aku tidak akan bertemu lagi? Bukankah memang karena aku lebih memilih Dirgam?
"Gue ngerti, kok," kata Mars.
Mengerti apa, Mars?
"Gue mau kasih lo ini." Mars mengarahkan sebuah kalung kepadaku.
Aku mengambil liontin itu lewat celah pagar. Aku memerhatikan liontin itu yang menggantung pada rantai. Bentuknya bundar. Saat aku membuka liontin itu, apa yang tergambar di sana membuat senyumku merekah.
Sebuah gambar seperti galaksi yang pertama kali kulihat. Warna hitam, biru, ungu, dan beberapa warna yang tidak begitu mendominasi menghiasi bagian dalam liontin saat aku membukanya.
"Suka?" tanya Mars.
Aku menatapnya senang. "Lebih dari suka!"
Mars tersenyum.
"Makasih, ya?" ujarku. "Ini beneran buat gue, kan?"
Mars mengangguk. "Sudah pasti buat lo. Kalau di tempat gelap, buka aja liontinnya."
"Buat apa?"
"Enggak, kok. Mungkin dengan begitu lo bakalan makin suka sama liontinnya."
Aku tersenyum senang. "Makasih, makasih, makasih!"
Mars mengangguk. "Ya udah. Kayaknya sekarang waktunya gue pulang."
Aku memakai asal liontin itu ke leherku dan aku segera memegang pagar. "Jadi, tujuan lo nginep semalaman di luar sini apa?"
"Salah satunya itu." Mars menunjuk liontinnya yang sekarang jadi milikku. Begitu, bukan? Liontin itu sekarang jadi milikku. "Dari dulu gue mau kasih lo, tapi baru sekarang kesampaian."
Dari dulu?
"Gi, gue pulang dulu, ya?" ucap Mars.
Aku mengangguk, tersenyum. "Hati-hati, Mars."
"Sampai ketemu di sekolah," katanya lalu berbalik menuju mobilnya. Dia berhenti sebentar di samping mobil dan menatapku. "Lo nggak mau masuk duluan?"
"Eum.. lo aja deh. Rumah gue kan di sini. Nggak apa-apa, kok."
"Lo dulu aja."
"Kalau gitu sama-sama aja. Lo pergi, gue masuk ke dalam. Hehe...." Aku tertawa kikuk.
Mars mengangguk, lalu masuk ke mobil. Aku menarik tanganku dari pagar dan melambaikan tangan kepada Mars. Klakson mobilnya berbunyi, lalu aku mundur sambil memperhatikan mobil Mars yang mulai melaju.
Setelah aku kembali masuk ke rumah, kuambil liontin itu dari leherku. Aku membuka dan menatap gambar galaksinya. Ini indah. Aku tersenyum. Rasanya... aku tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaanku.
Bagaimana perasaan kamu saat diberikan sebuah hadiah dari orang yang kamu senangi? Kira-kira begitulah yang kurasakan saat ini.
Ah, aku sampai lupa bertanya, apa tujuan Mars yang lain selain memberikanku liontin ini hingga membuatnya menginap di luar?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Fiksi Remaja[SELESAI] Pernahkah kamu merasakan takut berlebihan pada sesuatu yang sepele? Kalau, ya. Kita sama. Aku takut jatuh cinta dan aku juga takut tidak bisa merasakan cinta. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan. Berawal dari tragedi terlambat olimpiade memb...