23. Kantin

107K 11.5K 2K
                                    

an: typo kasih tahu aja ya. Ini sudah aku baca ulang, siapa tahu ada typo yang lolos.

Selamat membaca <3


___

Di balkon lantai dua ada banyak senior yang lalu lalang. Kali ini, mereka semua tidak berjalan menuju kantin, tetapi sebagian ke kelas-kelas junior. Aku dan Rumi harus berjalan di pinggir karena segan. Para senior yang dulunya berwajah garang hari ini tiba-tiba penuh senyuman. Meskipun ada satu atau dua orang yang kesan galak di wajahnya tidak hilang-hilang.

"Biasalah, pada minta maaf ke junior karena nggak lama lagi mereka Ujian," kata Rumi saat kami melewati tangga menuju kantin di lantai 1.

Aku hampir tersentak saat berpapasan dengan Orion di tangga. Dia baru saja lari dari arah yang berlawanan dan berhenti mendadak sambil menatapku.

"Halo, Geigi?" sapanya.

Aku mengerjap. "Ah, hai, Yon?"

"ORION! SINIIN PUNYA GUE!"

Teriakan dari lantai satu membuatku segera menatap ke bawah. Orion langsung berlari menuju lantai dua. Seorang siswi berhenti di anak tangga tak jauh dariku sambil merapikan rambutnya. Aku menatap nametag di kemeja sekolahnya. Shea Kanaka Archandra.

"Capek juga ya lari-lari," katanya lalu kembali berlari mengejar Orion menuju lantai 2.

Aku menggeleng kemudian melanjutkan langkah. "Gue baru tahu Orion punya saudara."

"Ke mana aja lo selama ini, Gi?"

Aku terkekeh. Rumi menarikku cepat-cepat ke kantin. Tiba di tempat itu, Rumi melepaskan genggamannya untuk memesan makanan. Dia tahu aku hanya ingin minum karena tak lapar. Tak sengaja, aku melihat Ranya duduk di kursi yang ada di dekatku. Masih berdiri di sana, aku melemparkan senyum ke arah Ranya karena Ranya juga menatapku balik.

"Sendirian, Gi?" tanya Ranya. Dia terlihat sibuk dengan makanannya, tapi tetap bertanya.

"Tadi bareng Rumi, kok," balasku.

"Sini duduk. Lo berdiri mulu capek," kata Ranya.

"Nggak apa, kok," balasku, tersenyum singkat.

Ranya tidak sendirian. Dia selalu punya teman. Sejak SMP dia sangat akrab dengan siapa saja apalagi cowok. Ranya itu berbeda 180 derajat dengan kepribadianku. Ranya ekstrover, periang, mudah bergaul. Berbanding terbalik denganku yang introver, pendiam, tak bisa berteman dan akrab dengan banyak cowok.

Di kursi yang berhadapan dengan Ranya, ada teman cowoknya yang aku tahu bernama Barga. Cowok itu sejak tadi tak bicara dan hanya makan. Barga dan Ranya berdua sekelas di XI IPA 1. Kelas itu mengingatkanku tentang Dirgam.

Dan mengingat nama Dirgam kembali mengingatkanku dengan hal lain, tentang ucapan Kak Saga sore itu.

Aku menghela napas panjang. Dirgam Barie. Namanya lengkapnya Dirgam Barie. Bagaimana aku pertama kali bertemu dengannya adalah sesuatu hal yang sudah jelas tak akan terlupakan.

Aku memejamkan mata. Bagaimana ini? Kenapa hatiku rasanya tiba-tiba sesak? Atau perasaan apa ini?

"Laporan praktikum kimia udah gue bawa ke meja Bu Emil tadi."

Aku langsung melihat ke sumber suara. Suara yang tak asing dan siapa lagi jika bukan Dirgam? Kantin ini memang berisik. Barga bahkan mengatakan sesuatu. Ranya mencelutuk. Mereka semua ada di dekatku. Namun, suara-suara itu tak jelas karena fokusku teralihkan pada satu sosok yang saat ini berhadapan denganku dengan sebuah meja kantin memisahkan.

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang