___
Mars
Udah sampai mana?
Aku menunggu Mars di lobi. Sejak tadi aku tidak bisa tenang. Aku terlalu bawel lewat chat, terus bertanya Mars di mana, sudah sampai mana, dan blablabla lainnya. Itu semua karena aku terlalu gugup. Saat aku bertanya apakah rumah eyangnya ramai? Mars bilang rumah eyangnya sudah pasti ramai. Aku bukannya benci suasana ramai, hanya saja aku merasa tidak nyaman. Bertemu dengan orang-orang asing dengan sengaja adalah sesuatu hal yang selalu membuatku tidak nyaman. Berbeda jika aku bertemu dengan orang asing tanpa sengaja.
Semua hal yang menjurus ke rencana pertemuan akan selalu membuatku gugup.
Aku maju selangkah saat melihat mobil hitam dengan plat nomor yang sudah aku catat di ingatanku. Sambil menggigit bibir, kuremas pinggiran dress putih yang aku pakai. Mobil Mars berhenti tak jauh di depanku, lalu kaca mobilnya terbuka. Tersenyum ke arahku sambil mengarahkan matanya sekali ke pintu mobil.
Kulangkahkan kaki segera mendekat ke mobil itu. Kubuka pintu dan saat itu juga aku melihat balita perempuan yang duduk di jok dengan pengamannya, menatapku dengan mata bulatnya.
"Mulia gimana? Gue pangku?" tanyaku.
Mars melepas sabuk pengaman Mulia. Tas gendong bayinya juga dia lepaskan. "Lo bisa pangku?" tanya Mars.
"Pasti!" jawabku antusias. Aku masuk dan memangku Mulia. Mulia menatapku bagai orang asing. Ya, memang itu kenyataannya. Bahkan saat aku mencoba tersenyum lebar, bayi mungil ini hanya memandangku sambil berkedip sesekali. Tanpa ekspresi.
"Mulia nggak cepet seneng sama orang, ya?" tanyaku pada Mars sembari memaksakan senyum kepada Mulia yang masih menatapku dengan wajah datarnya. Ini lebih bisa dikatakan bengong.
Mobil Mars mulia melaju saat dia membalas pertanyaanku. "Dia lagi bingung, yang mangku dia siapa."
"Oh?" Aku menoleh ke Mars. "Gimana caranya mengakrabkan diri ke anak kecil?" tanyaku bingung.
"Anak kecil kayak Mulia masih nggak tahu apa-apa, tapi coba kenalan. Bilang apa aja gitu. Sering buat anak kecil ketawa. Pasti dia bakalan ingat lo terus."
Sayangnya, aku tidak bisa seperti itu. Apalagi posisiku sekarang berada di samping Mars. Sok asyik di depan bayi yang belum bisa jalan kemudian Mars akan memerhatikanku? Oh Tuhan, aku benar-benar tidak bisa melakukannya.
Tapi aku harus mencoba. "Halo. Kenalin aku Geigi. Kamu pasti Mulia, kan?" Aku tersenyum ke Mulia. Anak itu mulai melebarkan senyumnya hingga beberapa giginya yang baru tumbuh itu muncul. "Kamu adiknya Mars, ya? Kok kamu cantik, tapi kakak kamu enggak?"
Kudengar Mars tertawa. Aku menoleh ke cowok itu sebentar. Mars memang tidak cantik, kan? Aku ikut tertawa dan kembali menatap Mulia yang entah kenapa juga tertawa-tawa.
"Izin cubit pipinya boleh?"
Mars mengangguk. "Boleh...."
"Ih, gemes! Anak siapa, sih?" Aku mencubit—lebih ke meremas sih— kedua pipi Mulia dengan gemas. Pipinya sangat tembem. Aku sampai gregetan dengan Mulia. Perlahan tawa Mulia menghilang. Raut wajahnya berubah. Matanya menyipit dan bibirnya terbuka. Kemudian Mulia menangis sangat kencang.
"Eh, eh, eh nangis. Hue ini gimana, Mars?" Aku panik. Mulia makin menangis kencang. "Gimana ini? Ya ampun. Nenanginnya gimana?"
"Coba lo goyang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Teen Fiction[SELESAI] Pernahkah kamu merasakan takut berlebihan pada sesuatu yang sepele? Kalau, ya. Kita sama. Aku takut jatuh cinta dan aku juga takut tidak bisa merasakan cinta. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan. Berawal dari tragedi terlambat olimpiade memb...