07. Planet Merah

135K 14.3K 1.7K
                                    


___

Kenapa waktu terasa berjalan begitu cepat? Ternyata waktu satu setengah jam tak sampai membuatku berhasil menyelesaikan soal-soal dengan tenang.

Aku tak tahu apa yang aku jawab tadi dan itu membuatku putus asa hingga menangis di sepanjang perjalanan menuju sekolah.

Ponselku sejak tadi bergetar karena panggilan. Namun, tidak kuhiraukan dan bahkan saat masih di angkot, aku menjalankan mode diam. Aku tidak marah kepada Dirgam mengenai dia yang terlambat. Bahkan aku masih bertanya-tanya sendiri kenapa wajah Dirgam dan aku ... sedikit khawatir.

Untuk sekarang aku hanya ingin sendirian dulu. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan semua kekesalan kepada diriku sendiri.

Bus belum tiba di sekolah. Mungkin hanya aku satu-satunya peserta olimpiade yang lebih cepat kembali ke sekolah. Satu-satunya tempat yang aku yakin sepi adalah kolam renang. Ya, mungkin. Karena sekarang masih proses belajar mengajar.

Aku melangkah cepat ke area kolam renang dan menjatuhkan tasku dengan asal-asalan. Aku membuka jas sekolah, sepatu, kaos kaki, dan menjatuhkannya asal-asalan di atas tasku.

Tanpa berpikir panjang, kuceburkan diri ke dalam air kolam dan berteriak di dalam sana sampai aku lelah sendiri. Wajahku naik kembali ke permukaan air dan tergugu karena tangis.

"Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin!" Aku memukul air dengan keras. Tak peduli rasa sakit pada kulitku yang terasa tertampar oleh air itu sendiri. "Kenapa, sih? Kenapa harus terlambat? Kenapa waktunya terasa cepat banget? Tadi gue jawab apa coba?!"

"Bego, ih!" Aku memukul kepalaku pelan. "Geigi bego! Bego! Harusnya tadi tuh lo tenang dan nggak perlu ngerasa dikejar waktu!"

Aku terdiam saat sadar sesuatu dan refleks memukul kepalaku sendiri.

Geigi. Cewek bego yang masuk ke kolam renang dan membiarkan seragamnya basah tanpa berpikir panjang bahwa dia tidak membawa pakaian ganti.

"Ini hari sial gue apa?" gumamku pelan. Rasanya aku tidak bisa mengeluarkan air mata lagi.

"Lo kurang bersyukur." Suara seorang laki-laki dan langkah sepatu terdengar makin mendekat.

Aku hanya bisa termangu menatap ke depanku tanpa berani beralih ke posisi di mana orang itu berada dan aku yakin orang itu tak lain adalah salah satu siswa SMA Nusa Cendekia. Sumpah, ini benar-benar hari sial. Siapa juga siswa itu yang berkeliaran di sini sementara sekarang masih proses belajar?

"Mending lo naik. Nih. Handuk buat lo."

Cowok itu kembali berbicara. Aku mendengarnya dari arah kananku dan kali ini aku memberanikan diri untuk melihatnya. Aku hanya bergeser sedikit tanpa beranjak dari kolam.

Wajahnya tidak asing.

Setelah melihat wajahnya, impulsku langsung merespons bahwa dia adalah cowok yang tadi tanpa sengaja aku tabrak saat bubar di lapangan.

Aku tak memedulikan sodoran sebuah handuk putih yang masih setia dia ulurkan ke arahku. Aku memerhatikan cowok itu—tak memerhatikan dengan sedetail mungkin, hanya sesaat— dan dia memakai celana krem Nuski tanpa seragam. Hanya sebuah kaos putih polos yang membalut bagian tubuh atasnya. Rambutnya juga basah. Titik-titik air jatuh di sekitar rambutnya yang sedikit turun di dahinya karena massa air. Mungkin, dia baru selesai berenang sebelum aku datang berteriak-teriak tak jelas di sini.

Aku tidak mengenalnya. Kuralat. Dia begitu asing untuk waktu hampir dua tahun aku sekolah di sini. Meskipun tadi pagi kami sempat bertemu pandang dan saling bicara. Oh, iya. Berarti, dia juga peserta olimpiade, kan? Tapi olimpiade apa?

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang