___
Apa mungkin Mars tidak ikhlas mengantarkanku pulang makanya dia tidak seramah tadi pagi?
Kalau benar, apa yang aku harus lakukan? Harus meminta maaf setelah tiba di rumah nanti? Selama di perjalanan aku tak tahu harus mengatakan apa untuk sekadar berbasa-basi. Aku tidak pandai berbicara di depan jenis yang namanya laki-laki. Kecuali laki-laki tertentu yang tak membuatku begitu canggung atau laki-laki yang lebih mempunyai banyak bahan pembicaraan yang bisa kuimbangi. Tentang Fisika misalnya. Teman mengobrol yang paling enak kuajak berbicara adalah Kak Saga, seniorku dulu di SMP yang satu klub denganku di Fisika. Itu pun karena kami sama-sama di klub Fisika dan kami selalu nyambung dalam pembahasan tertentu. Namun, kami tak sering bertemu lagi meskipun kembali satu sekolah di SMA.
"Yang pagarnya cat oranye." Aku menunjuk ke pagar rumahku sambil memajukan tubuhku sedikit. Motor Mars makin memelan bersama suara motornya yang ikut memelan. Aku menghela napas karena akhirnya bisa merasakan suasana daerah rumah kembali dan karena akhirnya aku tak lagi terkepung dalam suasana hening seperti di sepanjang perjalanan tadi.
Ketika motor Mars berhenti di depan pagar rumah, aku cepat-cepat turun dari motornya dan entah bagaimana cara lain selain memegang bahu cowok itu sebagai pegangan. Kupikir, untuk sekarang hanya itu jalan satu-satunya.
"Maaf," kataku sangat pelan ketika aku berdiri di samping motornya, di depan gerbang rumah yang tak jauh dariku. Aku membuka helm dan memeluk benda itu di depan perut.
"Maaf untuk?" tanya Mars. Aku hanya menggeleng dan tersenyum canggung. Akan tetapi, Mars masih menatapku menunggu jawaban. Ditatap seperti itu membuatku merasa ciut. Aku terpaksa harus menjawab pertanyaannya.
"Karena ngerepotin lo. Kalau lo tadi sibuk dan nggak bisa, harusnya lo nggak usah nganterin gue pulang. Bang Jo emang gitu, orangnya pemaksa dan usil." Aku nyaris menepuk bibir. Bodoh! Apa yang baru saja aku katakan?
Mars tertawa. Aku nyaris membulatkan bibir karena tak percaya melihat apa yang baru saja dilakukannya. Apa mungkin penyebab Mars tidak tertawa atau tidak tersenyum beberapa saat lalu di rumah Endra karena Mars ada masalah dari tempat yang sebelumnya dia datangi? Atau mungkin ada hal lain? Ah, entahlah. Sulit menebak cowok itu karena aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi.
"Lo tadi dengerin pembicaraan gue dengan Endra dan Orion?"
Aku menganguk dan menggigit bibir, gelisah. Sementara Mars menatapku dari sana. Cowok itu bersandar pada motornya yang sudah dia standarkan.
"Ke rumah temen gue nggak penting-penting banget, kok." Mars menatapku sambil menyunggingkan senyum tipis yang terlihat sekilas. "Lagian lo cewek. Jo bilang lo nggak ada tebengan. Kebetulan gue juga sendirian. Jadi, barengan gue juga nggak ada masalah, kok."
Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi menarik kedua ujung sudut bibirku sambil menunduk.
"Gue juga seneng bisa ketemu lo lagi, Geigi."
Seketika, wajahku terdongak. Mataku bertubrukan dengan matanya yang tak kentara karena malam. Aku mengeratkan pelukanku pada helm dan benar-benar tak bisa tersenyum selain memilih untuk menatap ke lain arah.
Ah, bukan benar-benar tak bisa tersenyum. Yang benarnya, aku sedang menahan otot-otot pipiku agar tidak tersenyum di depannya setelah dia mengatakan kalimat itu.
Tak sengaja, saat mataku teralihkan pada sesuatu yang bergerak di langit malam, mataku langsung membulat. Aku nyaris melompat karena terlalu senang melihat meteor berwarna putih kekuningan melintasi langit Bumi.
"Ya ampun! Bintang jatuh, Mars!" Aku menatap Mars sambil melangkah ke arahnya. Kemudian berhenti tepat di samping motornya. "Ya Allah, cantik banget!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Fiksi Remaja[SELESAI] Pernahkah kamu merasakan takut berlebihan pada sesuatu yang sepele? Kalau, ya. Kita sama. Aku takut jatuh cinta dan aku juga takut tidak bisa merasakan cinta. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan. Berawal dari tragedi terlambat olimpiade memb...