PROLOG

246 32 82
                                    

Cuaca di kota Kandangan sekarang kelewatan batas. Masa di layar HP-ku ada pemberitahuan cuaca dari Google 30 derajat celcius, padahal rasanya tuh 31 derajat celcius.

Motor modifikasiku pakai acara mogok pula. Ini nih yang bikin perhitungan cuaca Google salah, satu derajat tambahan itu asalnya ya dari mogoknya motor ini. Tukang servisnya sudah tua, lelet, terus kekurangan pendengaran lagi. Masa tadi itu ada orang ganti ban dalam, penutup anginnya enggak dipasangkan, ya balik lagi deh itu orang sambil ngomel. Si bapak malah nyengir sambil bilang, "Maaf lupa, Bu. Maklum sudah udzur."

Kata 'udzur' itulah yang bikin orang enggak tega buat negor. Mungkin anak istrinya butuh banget sama hasil kerja keras bapak ini. Walau aslinya bikin kesal. Ya sudah kupasrahkan saja urusan servis motor sama tukang bengkel udzur ini.  Daripada harus nyari bengkel lain yang belum tentu dekat dari sini. Siapa tau karena udzur, pengalamannya lebih banyak, asal jumlah formasi bautnya tidak bertambah saja.

Kulihat arloji merk Alexander Christy milikku menunjukkan pukul sebelas pagi. Masih pagi, pagi menjelang siang. Siang menjelang panas. Bakal bikin pembakaran lemak dalam tubuh pas di jalan nanti berkali-kali lipat nih.

Jarak tempuh Kandangan-Muara Teweh dulu sih kalau naik bus ada sekitar dua belas jam. Entahlah kalau naik motor. Bayangkan saja, berapa liter keringat yang harus kukuras dari pori-pori nan malang ini.

Kulihat kulitku sudah berwarna cokelat tua. Jadi ingat omelan umi, "Kamu tuh ya, panas-panasan mulu. Lihat kulit kamu, item gitu. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang dekil kayak kamu."

"Kata ulang ditambah akhiran 'an' artinya mainan. Panas-panasan berarti panas mainan, ya kan, Mi?" olokku dengan tampang polos.

"Pengalihan issu!" bentak umi. "Kalau kayak gini kapan Umi gendong cucu, Lucky?"

"Oh ya, Mi ... Anaknya Pak Udin di sebelah sana tuh," tudingku ke samping rumah. "Si Cici, kemarin malam lahiran. Masa Umi enggak tau?"

"Si Cici? Masa sih, siapa suaminya?" Umi tampak penasaran.

"Umi ketinggalan berita nih, udah cari informasi dulu sana sama bi Yuyun," kataku. Bi Yuyun itu pembantu di rumahku.

"Kamu benar," tandas umi. Mata umi berkilat penuh rasa penasaran, ia bangkit dari ujung ranjangku. "Eh tunggu!"

"Apa, Mi?"

"Cici itu anak Pak Udin yang nomer berapa ya? Kan anak Pak Udin banyak," ujar umi.

Aku mengedarkan mata ke sana-sini mencari ide. "Lucky lupa, Mi. Tanya Bi Yuyun aja."

"Pinter!" Umi menepuk pundakku pelan sambil berlalu keluar kamar.

Aku pun bisa bernapas lega. Setidaknya topik 'cucu' yang sudah kuterima untuk kesekian kali itu bisa benar-benar teralihkan. Segera kukunci pintu kamar, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Prediksiku tepat, tidak berapa lama umi teriak, "LUCKY! KAMU NGIBULIN UMI YA! CICI ITU ANAK KUCINGNYA PAK UDIN!"

Aku tersenyum geli mengingat ekspresi umiku tersayang itu.

Tadi pagi umi nanya, "Mau ke mana, Ky?"

"Mau nyariin Umi mantu," jawabku santai sambil beres-beres pakaian ke ransel.

"Yang benar kamu?" Umi mencolek sikuku sambil kedip-kedip manja. Kode kalau umi lagi senang.

"Beneran, Mi. Masa Lucky bohongin Umi?" Kusampirkan ransel di kedua bahuku.

"Kok bawa-bawa ransel? Emang nyariin mantu buat Umi ke mana, Sayang?" Umi merapikan poni lemparku lembut.

"Soalnya nyarinya jauh, Mi," jawabku.

"Siapa cewek itu? Apa umi kenal?" Umi meluncurkan jurus KEPO-nya.

"Iya, Umi kenal kok," jawabku singkat.

"Siapa namanya?"

"Vina Ayunita," aku menyebut nama wanita yang mendebarkan hatiku itu.

Umi memasang tampang berpikirnya. "Umi lupa, teman kamu?"

"Mantan, Mi."

"Mantan kok dicariin lagi," gumam umi. Umi mengibas-ngibaskan tangannya di udara. "Kerjaan kamu, gimana?"

"Lucky sudah ambil cuti tahunan, Mi."

"Ke mana kamu nyari si Vi ... Vina itu? Dan kapan kembali?"

"Ke Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Lucky akan balik kalau sudah nemuin Vina buat Umi," kataku mantap.

"APA? MUARA TEWEH?" pekik umi.

"Dik, ini sudah selesai," kata si bapak tukang bengkel. Membuyarkan lamunanku soal umi.

"Oh, apanya yang rusak, Kek ... eh, Pak?" tanyaku. Pakai acara kecoplosan lagi manggil kakek. Kapan nenekku nikah ama ini kakek?

"Businya," jawabnya singkat. Napasnya masa kayak orang lari marathon gitu nurunin motor dari kaki duanya.

"Oh, berapa?"

"Dua puluh ribu aja, udah sama upah pasangnya." Si tukang bengkel nyapu keringat pakai punggung tangan.

Kusodorkan lembar lima puluh ribuan.

"Enggak ada kembaliannya, ada uang pas?" tanya si bapak.

"Buat Bapak aja," kataku sambil naik ke motor.

"Loh, kebanyakan," tolak si bapak.

"Enggak apa-apa buat makan siang," timpalku sambil senyum.

"Makasih ya, Nak."

"Sama-sama." Aku pun mulai memacu motor membelah jalan satu arah di Jalan Hanyar menuju Jalan Ahmad Yani--Jalan arteri yang menghubungkan Kalimantan Selatan ke Kalimantan Tengah.[]















Linda Alenta, 28 Februari 2018

Mencari Jejak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang