Chapter Five

124 16 120
                                    

Secangkir Kopi Dari Ampah

♣♣♣

Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana berdiri seorang pria dewasa, kupikir seusia abi--lima puluh tahunan, ia melotot ke arahku. Oke secara teknis, pasti aku yang dipersalahkan. Alasannya sederhana, aku pria asing yang mandi dengan dua anak gadis orang.

"PULANG!" bentak lelaki berkumis itu tajam pada Lia dan Fia. Tapi, matanya masih mengamatiku.

Tentu saja Lia dan Fia beringsut keluar dari sungai. Seketika aku merasa harus berbuat sesuatu.

"Maaf," ujarku. Aku naik ke permukaan sungai.

Si bapak berkumis menatapku dari kepala hingga kaki.

"Aku Lucky, maaf kalau sudah lancang ikut mandi di sini dengan anak-anak Bapak," kataku.

"Lancang!" umpatnya. "Nyalang sekali matamu memandangi anak perawan orang. Apa niatmu bermain-main di tanah kami?"

"Sekali lagi maaf." Aku berhenti sekitar dua meter dari si bapak. "Aku dalam perjalanan ke Muara Teweh, bensin motorku habis. Kemudian, aku tertidur di atas motor. Lalu, aku melihat anak-anak Bapak menuju sungai, enggak ada niat buruk sedikit pun. Aku hanya butuh air untuk membersihkan diri."

Si bapak justru membuang muka seraya memberi kode pada Lia dan Fia untuk segera menjauh. Bagiku wajar saja, kesalahpahaman terjadi kapan saja, seenggaknya aku sudah berusaha. Salah paham itu biasa, asal enggak membiasakan diri menyalahkan paham.

♣♣♣

Setelah mendapatkan setangki penuh bensin, barulah aku merasa letih dan lapar. Maka di sinilah aku, di sebuah kedai kopi pagi yang diisi oleh pengunjung yang rata-rata memakai sarung. Penampilan yang tampak biasa di sini, karena sarung bisa mengurangi hawa dingin masuk ke tubuh mereka.

Bahkan aku yang beberapa menit yang lalu mandi, kemudian berolah raga pagi dengan mendorong motor pun masih merasa dingin. "Kopi satu, Mang," pintaku.

Ternyata kalimatku enggak hanya menjadi perhatian si pemilik kedai kopi, seorang lelaki yang tampak seusiaku mendekat. Wajar saja, logatku masih logat Kandangan.

"Lu dari mana dan mau ke mana?" tanya pria tadi.

"Dari Kandangan mau ke Muara Teweh," jawabku.

Lelaki itu duduk di sampingku. "Lu asli Kandangan?"

Aku mengangguk.

"Bisa ditebak dari logatnya. Jauh juga perjalanan lu," gumamnya. "Mau apa ke Muara Teweh, Bro?"

"Mencari cinta yang hilang," jawabku apa adanya.

Kupikir ia akan tertawa mendengar jawabanku. Tapi, pemuda itu justru mengernyit dan memberiku tatapan enggak kebaca. "Maksud lu seseorang di masa lalu?"

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan pemuda ini. Kuhirup kopi yang mengepul perlahan. "Ya, mantan pacar," jawabku serius.

Pemuda itu menepuk pundakku. "Panggil gue Kani, gue suka pada pejuang cinta. Dulu, gue pernah berada di posisi lu, merasakan cinta yang teramat sangat pada seorang gadis. Sayang, nyali gue enggak sebesar nyali lu."

"Gue Lucky," timpalku. "Gue turut prihatin dengan masa lalu lu."

Kani menghela napas panjang. "Sekarang gue hidup bukan dengan orang yang gue cintai. Sekilas hidup gue keliatan sempurna dengan tiga anak hasil pernikahan kami. Tapi, lu tau rasanya seperti mengenakan pakaian yang salah, walau berusaha keras mematutkan pakaian itu, tetap aja terasa salah." Kani berbicara dengan logat khas Dayak--percampuran Banjar dan Melayu.

Mencari Jejak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang