Chapter Eight

63 15 18
                                    

Penggalan Jejak
♣♣♣

"Lu harus hati-hati, Nyet," ujar Jhoni saat aku sudah kembali duduk di motor.

Aku mengangguk, mataku sedikit kesulitan membuka pagi ini. Kau tau rasanya pelupuk mata setelah banyak menangis? Aku baru benar-benar merasakannya sekarang. Dan ini enggak lucu, karena biasanya aku melihat mata panda cewek sehabis kuputusi, sekarang mataku ... ah, sudahlah.

"Makasih ya, Ruk," balasku. "Gue enggak tau harus gimana kalau di sini enggak ada lu. Lu satu-satunya keluarga Vina yang tersisa di sini."

"Ya gue enggak ikut ke Muara Teweh cuma karena kerjaan gue di sini sih," kata Jhoni. "Pokoknya apa pun yang terjadi kabari gue, oke?"

Aku mengangguk. "Assalamu alaikum," ujarku sebelum menekan tuas gas.

"Waalaikum salam," jawab Jhoni.

Sebenarnya aku hanya ingin ke sini. Enggak benar-benar ke Muara Teweh. Tapi, apa boleh buat dua puluh tujuh kilometer lagi aku akan menginjakkan kaki kembali di kota besar itu. Demi bertemu Vina, kekasih hatiku.

Aku enggak akan berhenti, sampai aku mendapatkan maaf darinya.

♣♣♣

Jalan yang kulalui bukanlah jalan yang mudah. Aspalnya memang masih oke, dibanding Kalimantan Selatan jalanan di Kalimantan Tengah memang jauh lebih terawat. Tapi, medannya turun-naik gunung dan berkelok-kelok.

Ada beberapa gunung yang tanjakannya begitu terjal. Kemudian, menurun dengan drastis. Lalu, jalan berkelok tajam dan tanjakan lagi. Aku harus pandai-pandai mengganti gigi motor di medan seperti ini kalau enggak mau motorku berjalan mundur.

Sesaat aku lupa akan rasa sakit hati, bergantikan dengan konsentrasi pada perjalanan panjang ini. Tapi, rasa bersalah akan Vina selalu kembali menyeruak, menusuk dada.

Sampai sejauh ini saja, ekspektasiku di awal sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Bagaimana jika aku enggak menemukan Vina di Muara Teweh?

Modalku ke sana cuma beberapa nomor telepon keluarga Vina, alamat nenek Vina, dan kontak dari Jhoni langsung. Semoga semua ini cukup menjadi jembatan pertemuanku kembali dengan gadis cantikku. Aku rindu.

Menurut Jhoni, terakhir ia bertemu Vina sesaat sebelum Vina dibawa pergi ke Muara Teweh. Itu artinya bertahun-tahun yang lalu. Dan ... kata Jhoni, keadaan Vina paling buruk ketika itu setelah kepergianku.

Kalimat sahabatku itu membuat rasa bersalahku semakin jadi. Seharusnya aku enggak benar-benar menghilang. Seharusnya bertahun-tahun yang lalu aku mencarinya, bukan sekarang. Saat semuanya sudah terlambat. Kuharap aku enggak benar-benar terlambat. Kuharap ... ada sedetik saja untukku bersua dengan Vina sebelum aku mati dalam penyesalan.

♣♣♣

Desau angin menerpa wajahku ketika kubuka helm. Aku masih duduk di jok motorku yang kuparkir di atas jembatan barito. Jembatan ini masih sekokoh dulu.

Aku melihat ke air kecokelatan di bawah sana. Masih sama seperti dulu. Hanya ada sedikit perubahan, rumah-rumah terapung di sana sekarang lebih modern dan cantik. Ada yang bertingkat dua dan beraneka warna.

Aku enggak akan lupa teman-temanku yang tinggal di rumah apung itu. Waktu itu aku main di rumah salah satu dari mereka dan tiba-tiba aku jadi pendiam. Kemudian, pulang ke rumah bedakanku begitu saja tanpa permisi. Saat mereka mencariku, aku beralibi lagi mules tiba-tiba. Padahal aku melihat ular merayap di kolong meja rumah apung itu. Itulah resiko hidup di atas air.

Mencari Jejak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang