Jejak Yang Hilang
♣♣♣Aku nyaris kehabisan tenaga saat ban motorku menyentuh lantai parkir Mesjid di kilometer dua tujuh, Sikui, Kalimantan Tengah. Aku sengaja enggak berhenti berkendara setelah obrolan dengan Kani di Ampah. Entah sudah berapa jam aku menempuh perjalanan. Kurasa ini sudah hampir tiba waktu zuhur.
Mesjid ini tempat dulu aku dan Vina menimba ilmu agama, tempat aku dan Vina taraweh bersama, dan tempat aku dan Vina saling mengenal lebih dalam selain di sekolah. Aku enggak akan pernah lupa saat Vina diganggu Bentar sepulang taraweh. Ia meneriakkan namaku dan Bentar pun lari tunggang langgang. Padahal Bentar belum melihat wujudku yang bersembunyi di balik pilar mesjid.
Aku senyum-senyum sendiri ingat saat itu. Ya, aku tau Bentar memang takut padaku. Sebelumnya, Bentar kedapatan menggoda Vina dan pulang sekolah ia pun dapat bonus tendangan taekwondo dariku.
Padahal sebelumnya umi sudah memperingatiku untuk enggak cari gara-gara sama orang Sulawesi. Menurut umi, di antara pendatang lain yang tinggal di Kalimantan, orang Sulawesi lebih jago soal berkelahi. Kalau mereka enggak bisa melawan dengan kekerasan maka mereka akan melawan dengan cara halus--cara gaib. Itu menurut umi. Tapi, apa pun kata umi, menggoda gadisku sama dengan mengganggu harga diriku.
Manikku menangkap sosok familier yang tengah menyapu di teras mesjid. Aku segera turun dari motor dan berjalan menuju lelaki itu.
"Assalamu alaikum, Pak Syarkawi," sapaku.
"Waalaikum salam," balasnya. Pak Syarkawi memindai sosokku dengan mata memicing, ia berjalan ke pinggiran teras sambil membenarkan letak kaca mata tebalnya.
"Pasti Bapak lupa deh," ujarku seraya mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan pak Syarkawi.
Beliau mengusap kepalaku sambil terkekeh. "Maklumlah sudah tua, sudah banyak kehilangan ingatan." Logat pak Syarkawi masih seperti yang dulu, medok Jawa Tengah.
"Sini kubantu membersihkan mesjidnya," tawarku. Aku sengaja enggak berusaha membuat pak Syarkawi mengingatku.
"Benarkah? Di gudang ada pel lantai." Pak Syarkawi menunjuk ke arah gudang yang letaknya masih sama seperti lima belas tahun yang lalu. Kalimat perintahnya pun enggak ada nada perintah sama sekali. Masih sama. Hanya bertambah usia.
Aku tersenyum simpul, merunduk untuk melewati pak Syarkawi. Kuletakkan ransel yang menyiksa punggungku berjam-jam di depan pintu kamar Marbot mesjid.
"Simpan ke dalam kamar itu barangmu, Nak!" perintah pak Syarkawi.
"Makasih, Pak." Aku pun menuruti perintah beliau.
Meski persendian tubuhku rasanya mau terlepas dari tempatnya, aku masih bersemangat untuk membantu pak Syarkawi. Apalagi ini hari jumat, ada kewajiban yang harus kutunaikan di mesjid.
♣♣♣
Jhoni menatapku dari ujung rambut hingga kaki. "Lucky!" serunya. Peci hitam Jhoni pun mendarat di lantai mesjid saat ia dengan penuh semangat mendekapku.
"Woy! Gue masih normal!" seruku sedikit kekurangan napas karena tangan kekar Jhoni menepuk-nepuk punggungku.
"Kapan lu datang, Nyet?" Akhirnya Jhoni melepaskanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Jejak Mantan
Adventure"Kamu tuh ya, panas-panasan mulu. Lihat kulit kamu, item gitu. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang dekil kayak kamu." "Kata ulang ditambah akhiran 'an' artinya mainan. Panas-panasan berarti panas mainan, ya kan, Mi?" olokku dengan tampang polos...