KERUSUHAN
♣♣♣
Malam udah larut--kurasa. Tapi, enggak satu pun rumah penduduk atau tempat ibadah yang kutemukan. Rasanya perjalanan dengan motor di malam hari menempuh jalan ini terasa lebih berat dibandingkan dulu naik bus antar provinsi.
Kulihat di analog pengukur minyak, rupanya minyak di tangki motorku sudah sekarat. Ah, apa yang harus kuperbuat sekarang? Meneruskan perjalanan dengan resiko kehabisan bensin atau berhenti di jalan sepi seperti ini? Kupikir keduanya sama saja. Sama-sama beresiko besar.
Aku enggak akan pernah lupa, enam belas tahun lalu--setahun sebelum aku mengenal Vina, aku menempuh jalan ini dengan naik truk pengangkut kerbau. Rasanya terdengar biasa aja kalau itu bukan saat kerusuhan Sampit. Kau tentu tahu bukan kerusuhan antar suku--suku Dayak dan Madura--yang terjadi di Kalimantan Timur itu turut berefek ke bagian Kalimantan yang lain, enggak terkecuali Kalimantan Tengah dan Selatan. Bagian horrornya adalah ... bagi suku Dayak, suku Madura berbau sapi, sedangkan aku berada di truk yang sedang mengangkut kerbau. Bagaimana kalau penciuman suku Dayak salah, kerbau dan sapi kan mirip.
Konon, kalau suku Dayak mengendus orang dan mereka mencium aroma sapi maka orang itu akan dibantai dengan sadis.
Hal yang lebih mencekam ketika itu suku Dayak yang bertelinga panjang, enggak mengenakan pakaian luar di malam hari, dan membawa senjata tajam sejenis tombak atau mandau--pedang panjang khas Dayak, berkelompok-kelompok di setiap persimpangan jalan. Nyaris setiap kelompok menghentikan truk kami. Dan ... setiap kali itu pula mereka mengendus kami. Aku bersumpah, aroma napas mereka seperti bangkai.
Aku juga enggak akan lupa suasana jalanan saat itu, sama sepinya dengan sekarang. Bedanya saat itu aku di bangku penumpang truk berhimpitan dengan abi dan umi, ditambah lagi ada sopir truk yang humoris, sedang sekarang aku sendirian. Apa pun yang terjadi padaku beberapa detik ke depan hanya aku dan Tuhan yang tahu. Mungkin besok harian lokal akan memuat beritaku, dengan judul "Seorang pemuda tampan yang mati dijadikan tumbal Dayak". Oh, lucu sekali.
Sial! Bensinku benar-benar habis sekarang. Detik berikutnya aku benar-benar berselimut kegelapan, lampu motorku mati. Aku bahkan enggak tahu jam berapa sekarang dan di mana ini. Indera dengarku hanya menangkap suara binatang malam. Aku ingat sebelum lampu motorku benar-benar mati, di kiri-kananku hanya ada pepohonan besar mengapit jalan beraspal yang kupijak sekarang.
Bahkan di langit enggak kelihatan satu bintang pun bersinar, alih-alih purnama. Bagus, sekarang aku bisa jadi mangsa makhluk apa pun yang berada di balik pohon-pohon besar itu. Kalau suku Dayak mungkin enggak semudah itu melayangkan senjata tajamnya ke leherku. Tapi, bagaimana kalau pemangsaku sebangsa beruang, ular, atau mungkin harimau?
Enggak mungkin kuteriakkan pada pemangsaku bahwa percuma memakanku, karena tubuhku kebanyakan tulang. Bukannya binatang sejenis itu suka tulang ya, kan lama habisnya. Ah, seharusnya aku mengambil jurusan bahasa Binatang saat kuliah.
Aku terpaksa mendorong motor perlahan. Mengikuti naluri, retinaku melakukan penyesuaian dalam kegelapan. Jadi, aku masih bisa melihat garis putih di tengah jalan. Kuharap, ada yang lewat sebelum aku tinggal nama.
Dengan tangan kiri kurogoh saku depan celana, mencari-cari HP yang tadi kuisi dayanya di warung Amuntai. Mataku membelalak saat kulihat daya bateraiku tersisi tiga belas persen lagi. Astaga! Aku lupa mematikan data selluler. Kayaknya nasibku enggak se-lucky namaku. Aku yakin umi dan abi memberiku nama Lucky menyelipkan do'a agar aku menjadi pria beruntung.
Terpaksa kumatikan data. Aku tahu ada beberapa obrolan yang masuk ke pesan whatsapp. Itu sangat enggak penting sekarang. Sebaliknya, aku justru memanfaatkan layar HP untuk penerangan.
Rasanya waktu merambat begitu lama. Bahuku kebas menahan beban ransel. Kakiku pegal menopang berat badan sekaligus mendorong motor. Perutku sudah menyanyikan lagu melayu. Kepalaku berdenyut-denyut. Tampaknya sudah waktunya aku mendengkur.
Peringatan pengisian daya dari HP yang kugenggam membelah kesunyian malam, menambah berisik dengan paduan suara jangkrik. Bagus! Apalagi yang lebih bagus daripada kehabisan bensin dan kehabisan baterai sekaligus?
Aku pun terpaksa melanjutkan perjalanan apa adanya. Berpatokan pada garis jalan yang masih terlihat, walau sedikit samar.
Beruntungnya lagi, jalanan terasa menanjak. Waaah ... sungguh pas untuk melatih otot-otot kaki.
Keringat membanjiri pakaianku. Kurasa, aku mulai dehydrasi. Jadi ingat cendol sagu acil warung di Amuntai. Napasku memburu karena harus terus menanjak. Baiklah, mari ambil hikmahnya, anggap saja latihan pernapasan sebelum bertemu mantan.
Telingaku menangkap suara gaduh di kejauhan. Suara teriakan dan pekikan. Ada setitik harapan bagiku untuk mendapatkan bala bantuan di tengah kegelapan. Tapi, suara yang kutangkap justru menciutkan nyaliku. Bukan hanya teriakan dan pekikan ... tapi, jerit kesakitan.
Ada sepercik rasa ketakutan di hatiku. Tapi, rasa penasaran jauh lebih besar dari segalanya. Siapa orang-orang yang membuat keributan mengerikan itu?
Kuparkirkan motor di bawah badan jalan. Di bagian yang sedikit berpasir dan berbatu. Kurasa motorku aman di sini.
Aku berjalan ke kanan jalan. Aku merasakan lembab di bagian bawah tubuhku, mungkin embun di dedaunan yang kulalui. Suara keretak ranting yang kuinjak menambah gaduh pendengaran.
Beruntung aku berhenti pada saatnya, satu langkah lagi maka aku akan mendarat di dasar jurang. Di bawah sana kulihat rumah-rumah penduduk yang diterangi lampu-lampu listrik. Itu artinya aku sudah sangat dekat dengan perkampungan. Tapi, bukan itu yang menjadi fokusku.
Di sekitar rumah penduduk yang terang benderang itu, kulihat para lelaki sedang beradu bacok. Darah di mana-mana. Teriakan dan tangisan dari wanita dan anak-anak kian menjadi.
Meski aku berada di atas jurang, jauh dari mereka. Tapi, pemandangan itu membuat jantungku melemah. Bagaimana mungkin aku mengharapkan bantuan dari penduduk yang justru sangat memerlukan bantuan.
Aku harus memberitahu pihak berwajib. Kubuka HP-ku. Ah! Sial! Baterainya habis. Bagaimana aku bisa melupakan nuansa horror dari matinya HP-ku tadi? Apa karena pemandangan di bawah sana?
Seorang anak kecil--kira-kira berusia sembilan tahun, diseret oleh seorang lelaki dari dekapan ibunya. Lelaki itu tampak bengis dengan rambut ikal masainya. Di tangan si lelaki tergenggam tombak panjang. Sementara si anak meronta berusaha lepas dari ganggaman lelaki bengis. Sedang si ibu menahan kaki lelaki itu yang kemudian ditendangnya, membuat si ibu terpental ke tanah berdebu.
Aku terpaku menyaksikan kekejian yang terjadi di bawah kaki lembah. Aku bertekad harus melakukan sesuatu. Tapi, apa? Aku enggak suka terlibat masalah di perjalananku.
Dua orang lelaki lainnya menangkap anak itu dari tangan si lelaki bengis. Mereka menjinjing si anak hingga kakinya mengambang di udara. Si anak terus meraung minta dilepaskan.
Tanpa aba-aba si lelaki bengis pembawa tombak melesakkan tombaknya tepat di dada si anak. Cairan merah kental menyembur dari dada dan mulut si anak, matanya membelalak, dan mulutnya terbuka penuh kengerian.
"ANAKKUUU ...!" raung si ibu.[]
Linda Alenta, 16 Agustus 2018
Halo sider! 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Jejak Mantan
Aventura"Kamu tuh ya, panas-panasan mulu. Lihat kulit kamu, item gitu. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang dekil kayak kamu." "Kata ulang ditambah akhiran 'an' artinya mainan. Panas-panasan berarti panas mainan, ya kan, Mi?" olokku dengan tampang polos...