Jejak Masa Lalu
♣♣♣Rumah bedakan yang dulu ditempati Susan sudah bergantikan dengan rumah beton mewah. Kulihat ada sebuah mobil Ford terparkir di halamannya yang berpagar. Kurasa ini bukan rumah Susan lagi.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling enggak ada satu orang pun yang kukenal. Enggak ada lagi ibu-ibu yang dulu sering duduk di teras rumah, melakukan aktifitas rutin mereka. Maksudku ... bergosip ria. Enggak ada lagi mak Yuni yang suka mencubit hidungku. Enggak ada lagi mak Herni yang suka memberiku permen. Ah, semua ini terlalu asing bagiku. Desa di Dermaga bukan Desa yang dulu lagi.
Kumaklumi keadaan baru ini. Karena belasan tahun yang lalu, aku sudah enggak tinggal di sini lagi. Aku tinggal di sini sekitar setahun sebelum pertemuanku dengan Vina. Petualangan panjang semasa kecil bersama ummi dan abi.
Kuputar kembali motorku ke pasar Dermaga. Aku enggak bisa membuang waktu terlalu banyak. Hari mulai sore, arlojiku menunjukkan pukul tiga empat puluh lima menit. Ini merupakan pemborosan waktu, wajar saja karena di Kilometer Dua Tujuh tadi aku bersua dengan beberapa teman lama sebelum melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di pasar Dermaga, aku segera mencari parkiran motor rumahan yang bisa menampung motorku beberapa malam.
"Mang, bisa nginapin motor?" tanyaku pada om-om penjaga bangunan parkir yang terbuat dari beton.
Om-om berambut gondrong itu menoleh, ia melirik plat motorku. "Bisa." Suaranya terdengar ramah berbanding terbalik dengan penampilannya. "Lima belas ribu permalam."
"Baik, mungkin dua atau tiga malam," kataku. Aku turun dari jok motor.
"Bayarnya di depan ya." Om penjaga parkir tersenyum ramah.
"Iya." Kusodorkan lembaran lima puluh ribuan.
Om itu menukarnya dengan karcis bertuliskan angka 13 dengan huruf besar, dan tulisan "Anda merasa aman, kami merasa nyaman."
Aku tersenyum membaca tulisan itu. "Makasih, Mang."
"Kembaliannya?"
"Nanti saja kalau saya sudah mengambilnya kembali."
"Baiklah, terima kasih."
Aku mengacungkan jempol sambil menyeberangi jalan. Lalu lintas yang padat di pasar Dermaga cukup padat dan membuat kemacetan. Enggak mengherankan sih, parkiran liar dan pangkalan ojek di tepian jalan turut menyumbang kesemrawutan.
Sesampainya di seberang jalan, hidungku mengendus aroma nila bakar. Perutku pun mulai dangdutan. Sepertinya aku harus segera makan, enggak ada makanan lain selain masakan istri Jhoni tadi pagi menghuni perutku. Kurasa cacing di perutku sedang berenang bebas dengan berbagai minuman yang kutelan sepanjang perjalanan.
Aku duduk di sebuah bangku panjang sebuah warung yang dijaga oleh seorang cewek cantik. Rambutnya panjang, diikat ekor kuda. Kulitnya putih bersih dibalut kaos oblong pendek yang sesekali menampilkan putih pinggangnya dan celana jeans yang membalut separuh paha.
"Pesen apa, Bang?" sapa gadis itu ramah.
"Nila bakar dan lalapan," jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Jejak Mantan
Adventure"Kamu tuh ya, panas-panasan mulu. Lihat kulit kamu, item gitu. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang dekil kayak kamu." "Kata ulang ditambah akhiran 'an' artinya mainan. Panas-panasan berarti panas mainan, ya kan, Mi?" olokku dengan tampang polos...