Chapter Two

126 20 32
                                    

PERASAAN JOMBLO YANG TERABAIKAN

Pantai Hambawang memberiku pelajaran berharga. Ah ... Nisa, kasihan wanita itu. Kuharap nasib yang sama enggak menimpa Vina-ku. Rasanya ingin memangkas jarak dan waktu, agar aku bisa sesegeranya melihat Vina.

Lima belas tahun lamanya aku enggak ketemu dia. Oh, Vina ... kamu pasti cantik sekali. Mata cokelat itu, rambut panjang itu, gadis yang imut, dan lucu.

Satu minggu lagi Vina ulang tahun yang ke dua puluh enam. Ia sepantaran denganku. Hanya saja, ia berzodiak Virgo, sedang aku Gemini. Menurut kolom ramalan bintang majalah mingguan umi, Virgo dan Gemini adalah pasangan yang sempurna. Tapi, entahlah ... aku enggak percaya ramalan. Mungkin hanya kebetulan yang kemudian akan benar-benar dijodohkan Tuhan.

Aku bisa membayangkan betapa imutnya anak kami nanti. Matanya kayak Vina, rambutnya kayak aku, hidungnya kayak Vina, dan bawahnya kayak aku. Waw! Cakep. Oh ... Vina, aku enggak bisa berenti untuk memikirkanmu.

Di kiri-kananku terhampar danau yang ditumbuhi rerumputan liar. Rumah-rumah penduduk mulai jarang. Terik matahari membakar semangatku untuk terus memacu kecepatan, sekaligus memacu rasa haus yang nyaris membuat mataku berkunang-kunang. Aku harus menemukan warung atau kios yang menjual minuman.

Tugu dengan deretan patung bebek Alabio menunjukkan kalau aku sekarang sudah berada di Amuntai kabupaten Hulu Sungai Utara. Bahasa dan logat warga di sini cukup unik. Tiba-tiba rasa banggaku terbit sebagai suku Banjar. Bahasa Banjar memang mirip dengan Bahasa Indonesia. Tapi, banyak logat dan beberapa perbedaan suku kata di setiap daerahnya. Termasuk di Amuntai ini.

Aku memarkirkan motor di depan sebuah warung makan sederhana. Sekilas warung ini tampak seperti mengapung di atas air. Padahal enggak juga, bangunan ini merupakan bangunan semi permanen dengan kayu ulin sebagai tiang-tiangnya dan kayu biasa sebagai lantai dan dinding. Keunikan yang jarang ditemukan di daerah lain terletak pada atapnya. Atap warung ini terbuat dari daun yang sudah kecokelatan, kutebak daun yang digunakan adalah daun rumbia. Rumbia merupakan tanaman liar yang tumbuh di pinggiran sungai atau rawa, sejenis palem-paleman, batangnya biasa digunakan warga untuk pakan bebek atau cendol, dan daunnya untuk dirajut dengan rotan yang telah dibelah-belah.

Udara sejuk segera kuhirup saat kubuka helm dan duduk di salah satu kursi panjang warung. Penjual di sini sudah berumur sekitar setengah abad. Kurasa wanita ini sudah melalui hari yang berat, dilihat dari keringat yang membasahi pelipisnya dan aku adalah pengunjung satu-satunya di sini. Ia menyambutku dengan senyum lebar sembari menyeka keringat dengan ujung baju daster yang tidak bisa dikatakan baru.

"Mau minum apa, Tuh?" tanya wanita itu.

Kuedarkan pandangan ke seisi warung dan mataku terpaku pada isi gelas kaca di hadapanku. "Cendol sagu, Cil." Kupikir cendol yang terbuat dari sagu rumbia ini pas untuk melepas dahaga dan menunda lapar. Ah, aku jadi teringat salah satu iklan di TV.

Satu lagi keunikan yang kubanggakan dari budaya Banjar. Kami cukup memanggil orang yang lebih dewasa dengan sebutan acil yang artinya bibi, paman atau amang alias om, kayi yang artinya kakek, dan nini yang artinya nenek. Sedang pada yang lebih muda bisa dipanggil utuh atau anang untuk laki-laki dan galuh atau diyang untuk perempuan. Jadi, di budaya kami tidak membutuhkan perkenalan nama untuk memanggil satu sama lain. Mudah bukan?

"Mau ke mana bawa tas sebesar itu?" tanya penjaga warung sembari menyajikan minuman pesananku.

"Ke Muara Teweh," jawabku.

Mata hitam si Acil warung pun membelalak. "Jauhnya," gumamnya.

Aku hanya tersenyum. Kurogoh saku celana depanku untuk mengeluarkan HP. Aku harus mencari navigasi dari peta online, terlalu meragukan jika aku terus berjalan dengan mengandalkan ingatan lima belas tahun yang lalu untuk melanjutkan perjalanan.

"Cil, bolehkah kupakai colokan listrik ini untuk mengisi daya bateraiku?" Aku menunjuk terminal listrik yang melekat di dinding enggak jauh dari tempatku duduk.

"Oh, pakailah." Acil warung menyodorkan segelas besar cendol sagu yang berwarna keunguan dengan campuran santan dan gula aren ke hadapanku.

Kucolokkan pengisi daya ke terminal listrik sebelum kuseruput cendol yang menggiurkan di hadapanku. "Cil," panggilku dengan mulut penuh cendol.

"Ya?" Acil warung yang hampir mencapai bagian dalam warung yang kupikir dapur berbalik menatapku.

"Ada nasi?" tanyaku lagi.

"Ada, mau lauk apa?"

"Haruan," jawabku. Haruan merupakan ikan air tawar, kalau dalam bahasa Indonesia disebut ikan gabus.

♣♣♣


"Ky, kalau makan itu pelan-pelan. Buru-buru itu pekerjaan setan," bisik Vina saat aku menyantap nasi kuning dengan lahap di belakang sekolah.

"Akhu laphar," jawabku dengan mulut penuh nasi.

Vina terkekeh. Kontan saja tawa lembutnya itu menghentikan kenikmatan nasi kuning yang kulahap. Mataku enggan berpaling darinya. Mata Vina menyipit saat ia tertawa, pipi penuhnya memaksa mata indah itu nyaris tertutup, nada tawanya lebih merdu dari petikan gitar pak Salman--guru kesenian yang rupawan.

Vina berhenti tertawa, ia mengusap sudut bibirku dengan telunjuk. "Tuh kan kalau makan buru-buru jadi belepotan."

Rasanya waktu berhenti begitu saja. Anak-anak lain yang berseragam sama denganku--putih-biru seolah berhenti bergerak, berhenti bersuara, dan bahkan berhenti bernapas.

"Ciiieee ...!" koor teman-temanku, membuatku tersadar pada dunia.

Kulihat wajah Vina bersemu merah. Ia menunduk menatap piring nasinya, menyembunyikan semburat merah di wajah cantik itu.

"Apa lu?" salak gue pada Rudi--koordinator pengejek yang kurasa telah mempermalukan Vinaku. Beberapa butir nasi bahkan menyembur dari mulutku.

"Santai, Bro! Gue sebagai jomblo merasa terabaikan liat kemesraan di warung Acil Saidah," balas Rudi disambut tawa yang lain.

"Jomblo ngenes!" seru suara entah siapa.

Aku nyaris berdiri untuk menghajar wajah jomblo yang membuat malu gadisku. Tapi, tangan Vina mencengkeram erat paha kananku--artinya ia enggak mau memperlebar masalah.

Enggak hanya itu, Vina bahkan mengambil piringku dan piringnya ke luar warung. Aku terpaksa mengikutinya. Tapi, aku sempat melemparkan pandangan sinis ke arah Rudi sebelum keluar warung. Rudi si juru ejek itu tampak menjaga pandangannya dariku. Dalam hati aku bersumpah akan mematahkan lehernya kalau sekali lagi ia berbuat demikian. Darah muda yang berdesir di nadiku enggak bakal segan untuk melakukan semua itu.

Sesampainya di bangku panjang di bawah pohon akasia, Vina berhenti. Ia duduk dan menyodorkan piring nasiku. "Mulai saat ini, kita makan di sini saja, ya."

Aku mengangguk, kurasa ide Vina cukup bijaksana. Di sini tempat yang jauh dari keramaian, karena menurut kepercayaan yang beredar di sekolah, di pohon akasia ini ada 'penunggu'-nya. Biasalah, orang Indonesia memang sedikit 'sensitif' soal alam gaib.

Sejak saat itu, setiap istirahat pertama sekolah Vina membawa dua buah nasi kuning. Kadang nasi miliknya ia bagi padaku. Ia bilang, "Aku suka makan denganmu."

"Kenapha?" tanyaku.

"Rasanya puas melihat kamu makan dengan lahap," ujarnya.

♣♣♣

Aku melanjutkan perjalanan, hari sebentar lagi petang. Aku harus mencari tempat berteduh untuk menginap malam ini. Mungkin penginapan atau tempat ibadah. Tapi, kurasa jalan terlalu sepi. Sejak tadi tidak terlihat rumah penduduk di kiri-kanan jalan.[]












Linda Alenta, 13 Agustus 2018

Wellcome back ke buku dengan judul yang paling susah move on. 😂😂😂

Mencari Jejak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang