Chapter Fourteen

110 12 49
                                    

"Aku baik-baik saja," ujar Vina. Suaranya bergetar.

Kulihat telapak tangannya mengeluarkan cairan merah kental, ada pecahan kaca tertanam di sana. "Maaf," ujarku seraya mengangkat tubuh Vina ke pinggiran kasur.

Wajah Vina enggak menyiratkan ekspresi kesakitan, padahal aku yakin ia sakit. Ia justru tersenyum menatapku.

"Kucabut ya?" Aku menunjuk beling di telapak tangannya. "Ini mungkin sedikit sakit."

"Cabutlah, bagiku enggak ada yang lebih sakit dari kehilanganmu, Ky," balas Vina. Tangannya yang lain mengusap pipiku.

Kalimatnya itu menohok hatiku, mengingatkanku akan dosaku padanya. Tapi, aku enggak mau berlama-lama bikin darah Vina merembes. Kurasa gadisku ini sudah kekurangan darah, maka kucabut beling itu. Kemudian, kutatap wajah Vina, sungguh ia enggak menunjukkan wajah kesakitan sama sekali. Hanya senyuman.

"Kugendong kamu ke bawah ya," ujarku. Tanpa menunggu jawabannya, kubopong tubuh kurus Vina ke luar kamar untuk menuruni tangga. Kurasa mak Puah punya kotak P3K atau sejenisnya.

Rupanya mak Puah enggak benar-benar meninggalkan kami berduaan di kamar. Ia menyambut kami di ujung anak tangga dengan raut khawatir. Ia membelalak saat melihat kaki Vina yang berlumuran cairan merah.

🎭

"Lucky," panggil Vina.

Aku segera bangkit dari tempat duduk dan setengah berlari menuju kamar tamu. "Ya?"

Senyumnya, sorot mata sayunya, rambutnya, oh ... indahnya. Aku terpana di muara pintu kamar.

Mak Puah mendekatiku dengan raut haru. "Terima kasih, kamu telah mengembalikan Cucuku," tuturnya sambil menepuk pipiku dengan tangan rentanya.

"Makasih juga sudah menjadi Nininya Bidadariku," balasku.

"Cucuku sudah menunggumu sekian lama, jaga dia," ujar mak Puah. Ia pun berlalu tanpa menunggu jawabanku.

Menatap binar indah di mata Vina seperti menatap bintang kejora di pagi buta. Rasa rindu dan bersalah membuatku takluk di hadapannya. Meski ia enggak seseksi gadis lain yang pernah kukencani, tetap saja di mataku Vina adalah segalanya.

Aku berjongkok di hadapan Vina. Kugenggam erat tangannya. "Haruskah aku minta ijin pada Tuhan, untuk mengajak satu Bidadari surganya ini bertualang?"

Vina tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan yang bebas dari genggamanku. "Sejak kapan kamu bisa gombal kayak gini, Ky?"

"Sejak alien menyerang kebun gandum dengan cokelat panas, maka jadilah koko keran," ujarku menirukan sebuah iklan jadul.

Kali ini kalimatku sukses membuat Vina terbahak. Sementara aku asyik menikmati derai tawanya. Kuperhatikan mata Vina sampai berair karena tawanya itu. Oh, indahnya pemandangan ini, Tuhan.

"Kamu bakat jadi pelawak tergaring di dunia, Ky," ujarnya seraya menyusuri rambutku dengan jemari.

"Aku juga berbakat jadi atlet angkat beban loh," balasku. Yang hanya ditanggapi Vina dengan kernyitan mata. "Mau bukti?" ujarku lagi.

"Apa? Gimana?" tantang Vina.

Tanpa aba-aba lagi, kuangkat tubuhnya di depan tubuhku, tangan kiriku di bawah pahanya, sedang tangan kananku di balik punggung Vina. Membuatnya terkikik kegirangan.

"Terang saja kamu bisa mengangkatku yang kurus kering ini," ejeknya.

Kubawa Vina ke luar kamar. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya berjalan dengan kaki tertatih. Sesekali kulihat perban yang melilit kakinya. Rasa bersalahku kembali terbit.

Mencari Jejak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang