06 : Look at Me

13.4K 887 35
                                    

"Semalam kamu ke mana, Rose? Ibu sampai cemas nyariin kamu. Terus kenapa ponselnya nggak dibawa?” Ardian baru saja menegurku setelah aku melangkah ke dalam rumah. Disusul si Mbok yang telah membukakan pintu untukku.

“Nginep di rumah Olin.” Aku menjawab dengan tenang sehingga tak memperlihatkan kebohongan.

Tapi jangan anggap kakakku seorang jaksa jika ia tidak mampu melihat kebenaran. “Kemarin Ibu udah nelpon teman kamu itu, dan coba tebak jawabannya….”

Ya, Ardian memang sangat mahir membuat seseorang menjadi tersudutkan.

Dan aku selalu grogi jika menghadapi pembicaraan seperti ini dengan kakakku karena ujung-ujungnya sudah pasti ialah yang memenangkan situasi.

Sebelum menjawab, aku terlebih dulu meneguk segelas air yang baru kutuangkan sambil melirik sekilas ke arah Ardian yang sedang berdiam diri bersandar pada kulkas dengan kedua tangan disilangkan di dada.

“Oke, semalem aku memang gak nginep di rumah Olin tapi aku beneran nginep di rumah temenku yang lain.”

“Teman yang mana?”

Aku berdecak geram. “Temen satu organisasi! Jangan selalu curigaan Kak Ardi, mau sampai kapan aku dianggap anak kecil?!” Untuk pertama kalinya aku meninggikan suara terhadap Ardian yang terpaut jarak tiga belas tahun denganku, dan aku selalu berharap ia sesegera mungkin menikah dengan pacarnya itu.

Ardian mengangkat kedua alis, “Di mata Kakak, kamu memang masih gadis kecil yang belum bisa menjaga diri, apalagi soal hubungan kamu sama siapa itu namanya…,”

“Zian.”

“Ya, Zian. Awas aja kalau kalian sampai berbuat yang macam-macam.”

Si Mbok memberikan sepiring nasi padaku, dan di detik itu juga langsung kumasukkan saja sesendok penuh nasi tanpa lauk ke dalam mulut sambil memasang wajah kesal. “Non, kalau makan itu baca doa dulu terus dimakan juga lauknya bukan nasinya aja.” Dan si Mbok menambah kekesalanku.

“Iya Mbok!” jawabku malas.

Ardian ikut duduk di sampingku, hanya duduk sambil memperhatikanku. “Kita itu sayang kamu, Rose.”

Dan kutanggapi saja dengan anggukan serta seringaian dipaksakan. Jika mereka sayang, mengapa selalu meninggalkanku sendirian dan lebih mementingkan pekerjaan. Lihatlah sekarang, ibu dan ayahku pagi-pagi sekali sudah tidak ada di rumah.

“Nanti kalau kasus yang Kakak tangani udah selesai, kita liburan yuk! Berdua juga nggak masalah.”

Aku langsung mendelik. “Berdua?” Lalu aku mendengus, mencibir omongannya. “Nanti juga pacar Kakak pasti akan ikut juga.”

“Terus kalau Ayra ikut kamu gak keberatan?”

Aku berpikir sejenak. Lantas menggeleng. “Maaf ya Kak, tapi aku gak terlalu suka sama Kak Ayra. Jangan dibilangin sama orangnya loh.”

Dan tanpa diduga, Ardian justru tertawa. “Kakak udah nebak dari awal, itu juga alasan Kakak nggak mau buru-buru bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius.”

Mendengar pernyataan itu sontak saja mengejutkanku. “Jadi… Kakak nggak nikah-nikah karena aku? Tapi siapapun pilihan Kakak aku restuin kok, jadi cepetan nikah ya.”

Ardian menyeringai, sebelah tangannya mengacak pelan rambutku. “Kalau pun bisa, itu nggak dalam waktu dekat karena Ayah Ayra, Pak Tama, baru aja meninggal dan… Kasus yang lagi Kakak tangani itu adalah kasus pembunuhan Ayahnya.”

Seketika pergerakan tanganku terhenti, bahkan aku jadi berhenti mengunyah.

“Kejadiannya kemarin, sekarang sedang tahap autopsi.”

Rose Met Venus [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang