16 : Bad Luck

8.5K 749 33
                                    

Sudah setahun, aku kehilangan Venus.

Tak sekalipun kami berjumpa.

Kini aku sudah lulus SMA dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi mengambil jurusan Sistem Informasi agar nanti bisa diterima di perusahaan Venus. Aku sungguh sangat menantikan saat-saat di mana kami akan bekerja bersama dan menghabiskan waktu berdua.

Saat kelulusan, aku sangat berharap Venus datang menemani. Tapi kenyataan tak seperti yang diharapkan, sehingga air mata berderai menggambarkan kebahagiaan serta kesedihan di saat yang bersamaan.

Berapa lama lagi sisa waktu untuk menunggunya datang menemuiku dan menampakkan sosoknya di hadapanku? Sehari? Sebulan?

Bukan, yang benar empat belas tahun. Venus akan bebas di usianya yang ke empat puluh satu tahun.

Mungkin nanti aku sudah tidak akan mengenali wajahnya lagi, bahkan kini aku tak memiliki satu pun potret Venus, setidaknya itu bisa menjadi pelipur lara di kala ketiadaannya dalam hari-hariku.

“Rose?” Setiap ada suara yang memanggil namaku, aku selalu berharap bahwa itu adalah suara Venus. Tapi nyatanya pemikiranku selalu tidak benar.

Kulihat sosok Zian berjalan menghampiriku sambil melempar senyum hangatnya seperti biasa. Zian memilih universitas yang sama denganku, ia seolah tak ingin jauh dariku. Masihkah tersimpan cinta dalam dirinya terhadapku? Seberapa besar cintanya itu? Yang jelas, sikap baik dan penuh perhatian Zian telah menjawab semua pertanyaanku.

“Kamu mau nggak masuk UKM jurnalistik,”

Kami saling berdiri berhadapan, “Emm… Aku kan bukan anak komunikasi.” Tak seperti Zian.

“Nggak harus anak-anak jurusan komunikasi aja, Rose. Nanti jadi bikin kamu punya kegiatan setiap hari. Biar kita juga bisa hunting bareng-bareng. Aku nggak maksa kok, cuma aku pengen punya partner.”

Melihat raut antusias di wajah Zian, membuatku tak tega jika menolak. “Aku nggak bisa ikut gabung. Tapi aku bisa jadi partner kamu, kalau kamu butuh temen buat riset atau hunting, dan turun langsung ke lapangan. Aku bakal siap nemenin!” kataku sambil mengangkat sebelah tangan, seperti sedang memberikan hormat. Membuat Zian terkekeh.

Lantas Zian mengepalkan tangan kanannya sambil bersorak ‘Yes’ lalu dicubitnya pipiku.

Venus, pria itu teramat mencintaiku, seperti perasaan cintaku padamu.

°•°•°•°

Coffee latte satu, Mbak!” seruku sambil mengulum senyuman.

“Aku bukan Mbak mbak, Rose!” Olin mengoreksi dengan raut memberengut. “Kamu nggak bilang pun, udah pasti aku sediain secangkir di depan kamu.”

Entah sejak kapan aku mulai menyukai coffee. Apa karena sekarang temanku menjadi barista di kedai milik orang tuanya? Atau karena kerinduanku terhadap Venus, merasa jika secangkir coffee adalah sosok Venus yang menemaniku.

“Dateng-dateng ngelamun. Ada apa lagi, Rose?”

Olin selalu tahu perubahan ekspresi wajahku, ia pun dapat menebak isi pikiranku. Apa karena kami sudah bersahabat lama, atau temanku itu punya kelebihan bisa membaca pikiran orang lain? Mungkin yang pertama lebih tepat.

“Temui aja, ini udah setahun kan? Lebih mungkin? Kalau kamu takut ketahuan kak Ardi, aku yang akan bantu. Lagian kak Ardi pasti ngizinin kamu kalau cuma tatap muka sebentar.”

Dan Olin juga selalu tahu bahwa yang selama ini mengganggu pikiranku adalah memendam kerinduan akan sosok Venus.

“Aku nggak bisa. Aku udah janji.”

Rose Met Venus [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang