Saat ini, malam pernikahanku.
Venus, inilah saat-saat yang kunanti, tetapi bukan kamu yang menjadi mempelaiku.
Aku tahu kamu tidak akan bertanya perasaanku saat ini, karena aku ingat dengan ucapanmu dulu—lebih tepatnya tiga tahun lalu—bahwa kamu akan selalu mengetahui jika aku sedang bahagia ataupun bersedih walau tanpa menemuiku.
Saat itu, aku tak mengerti. Tetapi kini, aku memahaminya.
Kamu akan selalu tahu tentangku, di mana pun dan kapan pun. Itulah yang membuatku bisa bangkit dari keterpurukan atas kepergianmu, Venus. Karena kamu akan tetap selalu ada, dalam benak dan sanubariku.
Percaya atau tidak, Venus, sampai sekarang aku selalu mengharapkan kedatanganmu, seolah kamu sedang dalam jeruji penjara dan menunggu janji yang pernah kita bicarakan terlaksana, bahwa kamu akan menjadikanku personal asisten mu.
Kini aku telah lulus. Aku akan melamar kerja di perusahaan tempat kamu bekerja dulu. Meskipun keinginan bekerja bersama denganmu sudah menjadi angan-angan semata.
Kini aku tersadar jika aku sudah tak perlu untuk menunggu kedatanganmu. Tetapi sebaliknya.
Tunggulah sampai suatu saat nanti aku datang menemuimu. Aku akan sangat menantikan saat-saat itu.
Tempat terbaikmu mungkin bukan di sini. Itu lah mengapa kamu hanya diberikan waktu singgah sementara. Di akhir waktumu, takdir telah menyuratkan pertemuan kita, supaya kita dapat merasakan apa itu cinta.
Tiga tahun lalu. Kita dipertemukan kembali setelah setahun lamanya kamu didakwa menjadi tersangka. Hanya saja kita diberi kesempatan sesaat untuk bersama dan setelahnya dipisahkan kembali, bahkan untuk selamanya.
Bahkan sebelum kita sempat mengucapkan ikrar janji pernikahan. Jika kutahu akan berakhir gagal, kita lebih baik menikah di pemakaman orang tuamu saat itu juga, Venus.
Barangkali aku terlalu mendamba.
Tapi Venus, menerima kenyataan yang menusuk ulu hati seperti itu membuatku sangat ingin memutar waktu. Agar tidak adanya penyesalan.
Namun setidaknya, kamu sempat menyematkan cincin di jari manisku. Aku akan selalu memakainya, tak akan pernah menghilangkannya seperti yang kamu takutkan.
Kamu tahu pasti keadaan diriku tanpa kehadiranmu selama ini, atau bahkan tentang kondisiku saat pemakamanmu maupun kejadian di gedung itu. Dimana tak pernah sedetikpun dan sekecilpun senyuman menghiasi wajah ini, suaraku selalu tak pernah menemukan jalan keluar, dan pandangan mataku selalu terpusat ke depan. Mereka yang melihatku mengira melihat mayat hidup.
Tubuh yang kehilangan pusat hidupnya, yaitu kamu Venus.
Hari demi hari telah kujalani. Kini aku berusaha menjalani hidup walau tanpa dirimu, cintaku.
Jangan khawatirkan Aletha. Dia setidaknya baik-baik saja. Kedua orang tua kalian telah membawanya ke tempat rehabilitasi. Dia tidak dijadikan tersangka karena gangguan mental yang dideritanya.
Dan ibu tirimu, dia juga dalam kondisi baik-baik saja. Aku rutin mengunjunginya, kami menghabiskan waktu dengan saling berbincang, masak bersama, memotong rumput atau sekadar menyiram tanaman bunga bersama, kami semakin dekat Venus.
Dan ternyata selama ini pemikiranku salah mengenainya. Ibu tirimu memang baik. Pantas saja kamu menyayanginya dan tidak menyimpan dendam. Sebab kamu tahu, bahwa ia punya alasan mengapa dulu memperlakukanmu seperti itu.
"Rose?!"
Kakakku barusan memanggil.
Kulihat dirinya di ambang pintu sudah rapi dengan memakai tuksedo, dia terlihat sangat menawan. Hanya saja kekecewaannya terhadap cinta, membuat Ardian tak mempunyai niatan mencari wanita lain. Hingga kini ia tetap betah menyendiri dan lebih memperhatikanku.
Dia perlahan melangkah menghampiri, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa haru bahkan kulihat dari pantulan cermin di hadapanku mata Ardian berkaca-kaca.
"Oh cantik sekali, sayang. Gaun ini sangat cocok untukmu."
Venus, benarkah gaun putih ini cocok padaku? Kuharap kamu sependapat dengan Ardian.
"Rose...," Ardian kembali menyahut. Maka aku berbalik badan menghadap ke arahnya. Menunggu ia kembali melanjutkan perkataan.
Tangan Ardian terulur, memberikan setumpuk amplop setebal buku 200 halaman.
"Maaf terlambat kasih ini sama kamu. Kakak... Nyesel nyembunyiin semua surat ini darimu, Rose. Jujur aja, Kakak ingin memberinya padamu dari dulu, tapi Kakak nggak mau keadaanmu jadi lebih terpuruk lagi. Ini udah ada di tanganku hampir empat tahun dan sama sekali belum pernah kubaca. Venus yang nulis, hanya untukmu."
Empat tahun?! Itu bukan waktu yang sebentar. Sejak kapan kamu menulis semua surat dalam amplop-amplop ini, Venus? Apa sejak kamu berada dalam tahanan? Mengapa kamu tak pernah membahasnya atau sekadar bertanya apa aku menerima semua suratmu.
Mengapa baru malam ini aku mengetahuinya.
"Sekali lagi Kakak minta maaf."
Tanganku mendadak gemetar saat merasakan tumpukan amplop itu dalam genggaman. Ardian mengecup keningku lama, memberikan kekuatan.
"Tiga puluh menit lagi acaranya dimulai. Zian menunggumu di bawah."
Saat ini, fokus pandanganku sepenuhnya hanya terpusat pada tumpukan amplop yang telah berubah warna kekuningan termakan usia.
Begitu Ardian berlalu dari kamar, jemari tanganku membuka pengikat amplop dengan gerakan cepat serta napas memburu, sudah teramat penasaran, terlebih perasaan rindu terhadapmu yang sebentar lagi akan terobati.
'Aku mulai merindukanmu, Rose.'
Kalimat pertama, dalam isi surat pertama, aku memulainya sesuai tanggal yang tertera di amplop. Dari waktu pertama kamu menuliskan surat.
Suara hiruk pikuk, obrolan serta canda tawa orang-orang di bawah sana tak kuhiraukan. Sebab aku sedang membayangkan kamu berbicara sendiri kepadaku Venus.
Sampai pandanganku kabur sudah tak kuat menahan air mata. Dada ini bahkan terasa semakin sesak setiap beralih membaca surat demi surat. Isakkan tangis pun akhirnya pecah, pertanda bahwa aku tak mampu mencoba untuk lebih tegar, bahwa aku hanyalah wanita lemah, tanpa dirimu.
Cintaku, Venus.
Taburan bunga serta senyuman orang-orang mengiringi setiap langkah kakiku. Langit malam ini sangat gelap tanpa adanya bintang ataupun rembulan. Ayah yang tengah mendampingi, mengiringi mempelai wanita ini, sedari tadi mengusap lenganku yang berada dalam genggamannya, tak henti-hentinya pula ia tersenyum padaku.
Nampak jelas sekali menunjukkan bahwa Ayah turut bahagia. Apakah semua orang di sini merasa seperti itu? Lalu bagaimana denganku?
Venus, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini.
Tapi Venus, aku akan berusaha untuk bahagia selalu agar kamu juga turut bahagia.
Senyumanku akhirnya mengembang dengan pancaran mata berkaca-kaca. Pandanganku terus lurus ke depan, menatap seseorang yang akan menjadi teman hidupku, yang dulu sempat kucintai.
'Rose, di sini aku selalu mengira-ngira, kapan kita bisa menghabiskan malam bersama lagi ya?'
°•°•°•°
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Met Venus [GxG]
Romance[Completed] Ini, bermula dari seorang perempuan bernama Venus. Dan ini, berakhir pula tentangnya. Hidupku yang semula berjalan lurus tanpa hambatan, mulai berubah penuh lika-liku semenjak bertemu Venus. Percaya kah kalian jika kuberitahu bahwa t...