"Jangan jelasin apapun, Rose! Kakak nggak akan mendengarnya." Ardian melontarkannya dengan tegas namun nada suaranya masih tenang terkendali.
Setelah membuka kamarku, ia akhirnya melepaskan juga pergelangan tanganku yang sedari tadi digenggamnya sedemikian erat.
Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata yang turut mengalir. "Venus nggak seperti yang Kak Ardi pikir, dan aku... memang jatuh cinta sama Venus—"
"ROSE?!" Baru kali ini aku di bentak oleh Ardian. Membuatku seketika itu juga tertegun. "Jangan gila kamu! Sejak kapan kamu kenal wanita itu, hah?! Seharusnya kamu bisa membedakan mana yang baik dan benar Rose, kamu itu udah dewasa dan bisa memilih pergaulan! Sedangkan wanita itu, memberi pengaruh buruk padamu."
Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala untuk memprotesnya, lidah ini mendadak kelu, seluruh tubuhku menjadi gemetar karena lemah untuk menghadapi situasi semacam ini.
Ardian menghembuskan napas berat sambil mengusap wajahnya. "Sekarang, Kakak minta kamu jauhi wanita itu,"
"Aku cinta Venus, Kak." Kataku getir dengan air mata yang masih mengalir begitu derasnya sampai membuatku sesegukkan.
Kini kulihat Ardian mengeratkan rahangnya. "Wanita itu pembunuh, Rose! Buka matamu."
"Venus bukan pembunuh, aku yakin dia nggak bersalah!"
"Kenyataan mengatakan wanita itu membunuh Ayahnya sendiri!" Ardian kembali membentak. "Kakak nggak akan izinin kamu keluar kamar sampai kamu bisa menyadari kesalahanmu, Rose." Dan tanpa menunggu tanggapan, Ardian mengunci pintu kaca dan mengambil kuncinya juga lalu setelah itu berbalik untuk mengunci pintu kamarku juga dari luar.
Kini aku terkurung.
°•°•°•°
Sudah sebulan berlalu, aku tak pernah sekalipun berjumpa dengan Venus. Bahkan untuk sekadar berkomunikasi lewat pesan atau telepon pun tidak mendapat tanggapan dari perempuan itu.
Ardian hanya mengurungku semalaman, dan paginya ia bertanya. "Apa kesalahanmu, Rose?"
Maka kujawab dengan enggan. "Karena udah mengenal Venus."
"Dan mencintainya." Ardian menambahkan seolah itulah jawaban yang ingin ia dengar dariku. Lantas ia mengusap lembut puncak kepalaku, "Kakak sayang kamu. Sekarang cepat siap-siap berangkat sekolah, Zian udah nunggu kamu di bawah."
Ardian seolah jadi menerima Zian, padahal kami sudah tak memiliki hubungan lagi.
Orangtuaku tidak tahu, Ardian memastikan bahwa mereka tidak perlu tahu tentang kenyataan bahwa putri semata wayang mereka mencintai seorang perempuan yang kini sedang terlibat kasus sebagai terdakwa pembunuhan. Jika orangtuaku tahu, mungkin mereka akan kecewa, marah, dan tak percaya. Atau bisa jadi aku sudah tak akan mereka anggap sebagai anak lagi.
Kemarin aku mendapat kesempatan untuk berbicara baik-baik dengan Ardian. "Kak, besok izinin aku berada di pengadilan ya, seenggaknya itu akan jadi yang terakhir kali aku bertemu dengan Venus." Sungguh berat sekali mengucapkan kalimat itu.
Ardian akhirnya mengizinkan asalkan aku tak berada di dekat Venus.
Beberapa minggu lalu, persidangan kedua terkait pembacaan putusan atas Nota Keberatan yang diajukan oleh Venus, tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim, rupanya Ardian mendapatkan bukti kuat untuk melawan eksepsi itu. Dan aku sangat berharap bahwa bukti yang diketahuinya keliru.
Aku tak menghadiri persidangan itu, hanya saja Zian memberitahuku, dia mengetahui masalah yang sedang kuhadapi bahwa Ardian sudah tahu tentang hubunganku dengan Venus. Dan Zian selalu menyempatkan diri menghadiri persidangan itu, untuk setelah itu memberitahukannya padaku yang tidak diperbolehkan kemanapun oleh Ardian selain pergi ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Met Venus [GxG]
Romance[Completed] Ini, bermula dari seorang perempuan bernama Venus. Dan ini, berakhir pula tentangnya. Hidupku yang semula berjalan lurus tanpa hambatan, mulai berubah penuh lika-liku semenjak bertemu Venus. Percaya kah kalian jika kuberitahu bahwa t...