「5」Benci yang berbekas

174 7 1
                                    

"Kemana aja kamu?" Tanya Vinka dengan nada penasaran. Aku langsung duduk di kursi tepat di hadapan Vinka. Aku mencoba untuk menceritakan hal baru saja terjadi. Meskipun nafas ku masih terengah engah. Namun sebelum aku mulai menggemakan suara ku, Vinka menyambung.

"Tadi aku lihat Arley disini."

Pikiran ku berat sekali lagi. Aku berpikir ulang untuk tidak mempermasalahkan keadaan dia. Aku akhirnya memilih untuk tidak menceritakan hal tadi. Aku hanya menjawab singkat ucapan Vinka.

"Ya, aku tau."

Aku melahap es buah di depanku. Mataku tanpa sengaja menangkap keberadaan Arley. Aku memalingkan wajahku lalu bertanya pada Vinka "Makanan mu sudah habis?". Dia menganggukan kepalanya pelan. "Habis ini kemana?" Tanya ku sambil mengambil tisu di pojok meja. Erina menunjuk ke arah toko pernak pernik depan tempat makan itu sambil berkata "Kita harus mencari kado buat Farrel."

Vinka mengambil uang dari dompetnya, lalu pergi kekasir untuk membayar semua pesanan kami. Setelah itu kami berdua beranjak pergi dari tempat itu. Kami melewati pintu masuk, Vinka dan diriku tapi tidak dengan hatiku.

Arley, my heart always near you

~📒~

Sore itu langit tak menampakkan matahari. Awan awam hitam menggumpal. Angin berhembus dengan keras, tak peduli apa yang di terpanya. Ia sedang duduk di depan teras rumahnya memperhatikan lambaian daun yang bergoyang terkena terpaan angin.

Terpaan angin itu tak membuat nya menyerah, dia tetap duduk disana sambil terus menatap. Sampai akhirnya ia bangun dari kursi nya, pergi menuju sebuah tumbuhan hijau depan sana. Dia menyentuh daun daun itu.

Trak

Dia mematahkan salah satu daun itu. Dia melihat itu sambil tersenyum, lalu dia membiarkan daun itu terbang.

Biarkan semua tentang dirimu terbang

Dia bergumam pelan, dia menyilangkan tangan di dadanya. Katanya semakin dilupakan, semakin mudah diingat. Katanya semakin kuat ikatan, bukan menguatkan tapi menyiksa. Namun kini bukan katanya, tapi kenyataannya. Dia menanggung masa lalu di punggung nya, dan dia harap semuanya terbang. Terbang, sama seperti daun itu. Daun yang selalu melambangkan dirinya.

Akhirnya dia memilih masuk kedalam rumahnya. Ia menutup pintu depan, lalu menuju ke dapur. Dia menyenduh teh untuk dirinya sendiri. Sambil mengecek handphone nya ia mengaduk teh yang sudah ia beri gula.

"Hari ini akan hujan deras." Gumam nya setelah membaca ramalan cuaca di handphone nya. Dia membawa cangkir berisi teh itu ke kamarnya dan meletakkan nya di atas meja kerjanya.

"Hujan, mungkin akan menghasilkan ide." Gumam nya lagi. Ia menyeruput teh nya dan membuka sebuah buku catatan. Dia mencatat sesuatu, mungkin sebuah penggalan penggalan puisi. Dia terlalu kuat, dia bisa tersenyum dalam sedih. Karena setiap air matanya dia jadikan huruf, yang merangkai sebuah kata, kata yang merangkai sebuah kalimat. Kalimat yang merangkai sebuah puisi, puisi yang merangkai isi hati. Isi hati yang ingin diungkapkan dengan nyata namun akhirnya hanya menjadi sebuah kalimat. 

~📒~

"Ini bagus bukan?" Ujar Vinka sambil memegang sebuah kemeja.

"Kamu sudah bertanya sepuluh kali. Bisakah kamu bertanya hal lain yang lebih berbeda?" Jawab ku pelan dengan sikap tak peduli. Aku sibuk melihat ke jam tanganku.

"Orang yang berbahagia pasti akan terus mengulang hal yang sama. Sampai dia bosan." Ujarnya dengan wajah bahagia.

"Kamu bahagia, tidak denganku." Timpalku seketika. "Jadi kamu mau beli kemeja itu untuk kado?" Tanyaku mengalihkan permasalahan.

Cinta Larutan KimiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang