Mengeja Luka

168 20 0
                                    

Pria gagah itu membopong Anna yang kini tak sadarkan diri di depan gubuk.

Ada gurat kesedihan di wajahnya, ketika menatap wajah Anna yang terlihat pasi.

Dia pun seolah ikut merasakan luka yang amat sangat dirasakan Anna, baik luka ditubuhnya maupun luka di hatinya.

Sementara itu, mbok Marni terlihat khawatir. Wanita tua itu segera mengiringinya dari belakang.

Sedang diluar hujan deras.

Pria itu merebahkan tubuh mungil Anna di atas ranjang yang beralaskan sprai dengan nuansa sakura warna biru muda yang tampak elegan.

Matanya masih saja menatap gadis yang berbaring lemas di hadapanya dengan penuh iba.

Baginya waktu seolah berhenti.

Yang tersisa hanyanlah keringat dingin yang kini mengguyur tubuhnya.

Tangan gagahnya tak henti-hentinya menggosok tangan dingin Anna dengan minyak angin yang telah disediakan mbok Marni.

"Biar mbok bantu ya le."

Mbok Marni mencoba menawarkan diri untuk membantu menghangatkan tubuh Anna, yang tampak dingin dan masih terlihat pasi.

Pria itu menatap mbok Marni.

Ia sedikit tertegun, karena teringat akan masa kecilnya yang pernah demam tinggi, dan mbok marnilah yang dengan sabar merawatnya.

Meski mbok Marni hanyalah asisten rumah tangganya, wanita tua itu telah dianggapnya sebagai seorang ibu, tanpa menggantikan ibu kandungnya.

"Tidak usah mbok, biar saya saja yang mengurusnya."

Kata pria itu, sedikit berbata.

Mbok Marni yang telah memaklumi, segera meninggalkan Anna bersamanya.

Malam semakin larut.

Pria itu melantunkan surah Al Mulk sebagai penutup muroja'ahnya.

***

Tok.. tok.. tok..

Suara ketukan pintu dari luar gubuk.

Sebelum ia melafalkan tasyahud akhir, kemudian diteruskan salam.

Dengan baju koko putih dan sarung hijau kotak-kotak sebagai warna favoritnya.

"Assalamu'alaikum"

Seorang gadis berkerudung cokelat itu tengah berdiri dengan koper mininya, menunggu tuan pemilik persinggahan.

"Wa'alaikumussalam"

Pria itu membukakan pintu.

Alangkah terkejutnya, ketika pandangannya bertemu dengan seorang perempuan yang telah lama dikenalnya.

Perempuan itu menyempatkan diri, datang dari kota hanya untuk mengunjungi gubuk mbok Marni yang terletak di pesisir Selatan-cukup jauh dari kota- masih pulau Jawa.

"Za... silahkan masuk"

Pria itu segera membawakan koper milik tamunya ke dalam ruangan utama.

Tak begitu lebar tetapi terlihat bersih dan rapi.

Ruangan itu memang sengaja disediakan untuk tamu.

"Maafkan aku Zam, seharusnya Aku datang lebih cepat dari ini. Tetapi, apalah dayaku yang hanya seorang abdi Rumah Sakit. Aku baru diperbolehkan cuti satu minggu ini."

Ada gurat penyesalan di wajah Perempuan yang dipanggilnya Zahra itu.

Namun, segera pria itu berusaha mencairkan suasana agar lebih bersahabat.

"Tak apa Za, yang penting kamu sampai disini dengan selamat, mari silahkan duduk."

Kedua insan itu duduk berseberangan di kursi masing-masing.

Tak lama, mbok Marni keluar membawa nampan yang berisi dua cangkir teh hangat, dan sepiring ketela rebus.

"mbok Marni, apa kabarnya? Tidak usah repot-repot mbok"

Gadis itu menatap mbok Marni dengan lembut dan penuh hormat.

"Alhamdulillah, mbok sehat. Teman nduk Anna kan yo?"

Zahra tersenyum sambil mengangguk pasti.

Sementara pria di depannya tertegun.

Satu per satu bayangan masa lalu mulai hinggap dalam memori ingatannya.

Sekilas..
Zahra mengingatkannya pada saat-saat ia mencoba melindungi Anna, yang kala itu justru berjuang mati-matian menyelamatkan Zahra dari aksi demo mahasiswa kampusnya yang saling adu serang di depan kantor megah agen perjalanan yang menipu ratusan umat.

Kala itu, posisi Zahra sedang terjepit diantara sekawanan mahasiswi yang tengah membawa plakat bertuliskan "kembalikan hak kami" dan masih banyak lagi.

Lemparan batu yang cukup keras tiba-tiba mendarat di kepala Zahra.

Anna, yang berada tak jauh di belakangnya berusaha menyokong tubuh Zahra yang sempat oleng.

Disaat yang sama, satu serangan pun diluncurkan dan hampir saja menjamah punggung Anna.

Tetapi, salah seorang laki-laki berhasil menyelamatkannya.

Laki-laki itu adalah Rizam, dirinya sendiri.

Flashback off

"Zam...."

Zahra berusaha mengalihkan pandangan kosongnya.

"Ya?"

Rizam tersadar, ia mengusap sebagian wajahnya.

Agaknya, Rizam berusaha terlihat sedikit santai, dan seolah tak ada beban berat yang sedang menari di pundaknya.

Sementara Zahra terlihat menunduk dan mulai membuka suara.

"Tolong antarkan aku padanya, aku sangat merindukan sahabatku.. Anna"

Rizam mengagguk pelan.

Senja Di Gubuk Ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang