Tatapan Rey

234 33 11
                                    

Lagi-lagi Rey memelas pada Ria.

Kali ini tatapannya benar-benar serius, walaupun hanya sekadar menunggu sekelumit jawaban dari gadis berkerudung biru muda yang sangat dicintainya itu.

Rey.

Pemuda itu memang terlihat berbeda, jenggot tipis dan hidung mancungnya seringkali menjadi sorotan kacamata mahasiswi-mahasiswi kelas langit, yang kerap kali menebar pesona pada Rey.

Meski begitu, Rey bukan pria yang mudah tergoda oleh paras jelita, butuh lebih dari modal ayu untuk mampu membusur hatinya.

Kenyamanan misalnya, yang kerap kali ia temukan saat bersama Ria, gadis yang kini tengah berdiri di hadapannya.

Namun, dua mata itu tak juga saling bertemu.

Agaknya, suasana memang tak begitu mendukung.

Tak sedikit, mahasiswa dengan almamater biru muda, masih berlalu lalang di kampus yang terkenal favorit itu, lebih tepatnya terletak di dekat jantung kota Yogyakarta.

Rey menatapnya sekali lagi.

"Ria... aku tidak memaksa kamu menjawabnya sekarang, tapi aku juga berharap kamu tidak membiarkanku menunggu lebih lama lagi."

Ria sedikit terhenyak, sesaat logikanya mulai berbicara.
Satu per satu perjuangan Rey tergambar jelas dalam memori ingatannya, betapa keras perjuangan Rey yang selalu bersabar menunggunya.
Walaupun kerap kali jawaban tak pasti selalu didapatnya, Rey tetap sanggup mengulang pertanyaan yang sama, selama setahun terakhir tanpa putus asa.

Dengan sedikit kaku, Ria pun memberanikan diri menatap tepat di titik hitam pemuda yang kini berada persis didepannya.

"Baiklah, kamu mau aku menjawab apa?"

Ria berharap Rey tak melanjutkan kata-katanya, namun yang terjadi malah sebaliknya.

"Aku sudah siap mendengar apapun  jawabanmu"

Dan suasana ganjil sekarang.

Ria tak mampu menuai kata, satu per satu kalimatnya menguap bersama hembusan angin sore itu.

Gadis mungil itu mencoba merangkai kata demi kata, memilih diksi yang tepat agar tak menyinggung perasaan Rey.

"Rey..."

Perlahan Ria mencoba memulainya.

"Ya?"

Rey menatapnya pasti, dengan harapan, Ria menerima dirinya sebagai kekasihnya.

Ria berusaha mengumpulkan keberaniannya bersama bibit-bibit aqidah keimanan yang baru saja membuncah dalam lubuk hatinya.

Meski begitu, gadis itu tetap ingin menjaga perasaan Rey agar tidak tersinggung.

"Maafkan aku Rey, jika kau memintaku untuk menerimamu sebagai kekasih yang tidak halal bagiku, aku tidak bisa. Mungkin aku belum bisa memahamimu hingga sekarang, bahkan memahami apa yang selama ini kau bilang cinta. Inikah cintamu? 
Inilah aku sekarang Rey, dengan sudut pandang yang baru. Kalau kamu memang mencintaiku, bantu aku belajar menjadi muslimah seutuhnya,"

Air mata gadis itu mengalir seperti butiran embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan yang masih tunduk dalam tawaddu.

Gadis itu sedikit terisak.

Spontan Rey mengarahkan tanganya ke rona pipi mungilnya, namun di saat yang sama, tangan gadis itu mencoba memberikan bahasa penolakan secara halus.

Rey menghargai keputusan Ria, yang kini telah memutuskan menjadi wanita muslimah seutuhnya.

Senja Di Gubuk Ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang