Tanpa Nama

362 40 17
                                    

Semburat warna merah di langit senja masih setia menunggu perintah penciptanya, seraya bertasbih memuji kebesaran dan keagungan-Nya.

Biar tak terdengar, kesetiaannya cukup membuat iri bilik-bilik hati, setiap insan yang bernyawa.

Begitu pun jutaan kilauan kristal oleh desiran pasir di pantai, seolah menari di pelupuk mata, diiringi alunan gelombang biru yang seakan menyatu bak musik dan tari.

Belum lagi aneka warna yang bertengger membentuk lengkungan cahaya di sela-sela mega yang tampak samar-samar terlihat.

Dan itu semua, adalah bukti nyata bahwa segala keindahan hanyalah milik sang maha indah.. Allah azza wajalla.

Di balik jendela..

Pandangan Riana masih sama, untuk kesekian kali, masih saja ia mencoba menebak-nebak apa yang terjadi pada dirinya beberapa minggu terakhir.

Ia mencoba menerawang dan mengingat masa lalunya, akan tetapi selalu saja hal itu membuatnya tersiksa.
Seringkali nyeri di kepalanya datang tak terduga.

Pernah sekali waktu.
Yang terlintas, hanyalah bayang-bayang semu, entah saat jiwanya singgah di rimba mana, yang dirasanya seperti mimpi.

Ya.. mimpi yang tak bisa dirangkai dengan kata-kata, tak mudah ditafsir, juga tak dapat dinalar dalam ruang logika. Hanya saja, butuh sedikit keberanian untuk menemukan kembali memori hari itu, sebagai petualangan singkat atau malah tersesat lebih tepatnya.

Anna, Perempuan biasa, pemilik senyum merona.
Bak pelangi senja, yang hadirnya tak terduga
Tapi keelokannya mampu menyihir sabana hati setiap jiwa.

"Ya Muqollibal qulub, tsabbit qolbi 'ala dinik"
Ya Allah, yang maha membolak-balikkan balikkan hati, teguhkan hatiku dalam agamaMu

Gadis itu memejamkan mata.
Bukan, bukan karena kilaunya menyakitkan. Hanya saja ia sedang mencoba mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengusir ketakutannya yang selalu menari di puncak logikannya.

Ketakutan akan siapa jati dirinya, dan sederet orang-orang yang pernah singgah mengisi ruang hati terdalamnya.

Lebih tepat untuk menyebutnya lima hari, gadis itu masih berdiri di tempat dan waktu yang sama.

Tak pernah jemu.

Walaupun hanya sekedar memandangi pesona pesisir dihadapannya.

"Nduk Anna.." Suara mbok Marni terdengar sedikit berbata.

Sontak pandangan gadis itu tercuri, pada sosok wanita tua yang kini berdiri tepat disampingnya.

Entah mengapa, kebaikan hati mbok Marni, telah mengubah hidupnya.

Baginya, mbok Marni seperti malaikat, ditengah-tengah kegelapan dua dunia yang seolah menikamnya.

Termasuk beberapa ayat yang sering didengarkannya dari lisan wanita tua itu, walaupun berciri khas Jawa tulen.

Ajaib, ayat-ayat cinta-Nya seolah menghidupkan sel-sel otaknya yang mungkin sudah tak karuan bentuk dan rupanya.

"iya mbok.. ada apa?"

Gadis itu berbinar dengan penuh keteduhan.

Sementara senyum tipis mbok Marni, juga tak kalah menenangkan suasana sepi, di gubuk sederhana itu.

Mata tuanya mulai menemukan kelabu dalam wajah mungil gadis yang dinamainya Anna.

"Tidak baik, kalau wanita akeh nglamun nduk, apalagi kalo sore-sore begini, nanti kalau di lirik sama mas-mas Adam piye?"

Anna tampak tersenyum geli mendengar nasehat mbok Marni. Ada gurat kesejukan yang setidaknya masih ia miliki saat bersama mbok Marni.

"Ah mbok, bisa saja."

Perlahan, mbok Marni sedikit menuntun Anna menuju ranjang tidur sederhana yang tak begitu lebar, di tepi kamarnya.

Seperti hari sebelumnya, Mbok Marni tetap setia menemani dan merawat Anna

"Lebih baik, sampeyan berbaring saja, biar cepat pulih."

Gadis itu menatap mbok Marni.

Sementara mbok Marni dengan ketulusannya, telah membuatnya semakin malu.

"Terimakasih, mbok Marni selalu sabar merawat Anna, entah bagaimana cara Anna membalas kebaikan mbok Marni"

Tak terasa pipinya basah oleh jatuhnya bening di pelupuk mata.

"Tak perlu kau balas apa-apa, nduk.. Mbok tulus merawatmu, bahkan mungkin mbok yang banyak berhutang budi padamu"

Kata mbok Marni sambil tersenyum dan membelai rambut panjangnya yang masih dililit perban yang cukup tebal.

Gurat wajahnya berubah saat ia mencoba mengeja kalimat-kalimat singkat mbok Marni, sontak itu membuatnya semakin penasaran.

Dengan mengumpulkan sejuta keberanian, Gadis itu mencoba menggalinya lebih dalam.

"Maksud mbok Marni apa?"

Tubuhnya gemetar, seolah penuh harap, bahwa mbok Marni tau sesuatu tentang dirinya.

"Tidak apa-apa, mbok hanya senang bisa merawatmu"

Kata mbok Marni, seraya memalingkan wajahnya, dan berusaha berlalu dari hadapanya.

Refleks, Anna memegang pergelangan tangan mbok Marni, sosok yang tak asing lagi baginya, dengan tatapan memelas.

"Mbok, Katakanlah."

Kata gadis malang itu, hampir tak terdengar

Senja Di Gubuk Ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang