Sinar mentari pagi itu masih tersipu, disela-sela gumpalan awan yang terlihat tipis-tipis memudar, terbawa hembusan angin.
Ditambah riuh ombak yang beberapa kali menghantam kayu-kayu pembatas yang berada di tepi pantai, seolah menjadi obat pemecah keheningan.
Semakin keras terdengar, begitu kerasnya, hingga terdengar dari dalam gubuk sederhana itu.
Yang jendelanya sengaja dibuka, agar hawa sejuk mulai menyelimuti sekitar agar mampu meredakan sesak dalam dada.
Perlahan, Gadis itu mulai membuka kedua matanya, yang masih terasa berat. Dilihatnya, seorang perempuan berkacamata menyunggingkan senyum hangat padanya.
"Hay Anna"
Seorang gadis berkacamata seolah menyapa dan kemudian memeriksa kondisi Anna dengan stetoskop miliknya, yang nyaris tak pernah lepas dari saku kanannya.
"Anda siapa?"
Pandangan Anna masih sedikit kabur, namun tetap saja ia paksakan duduk, sambil dibantu mbok Marni.
Sementara perempuan yang dari tadi dilihatnya itu melepas kacamata miliknya. Ia menghela nafas sedalam-dalamnya, dan terlihat menahan haru.
"Perkenalkan saya dokter Zahra."
Kata dokter Zahra, seraya memgulurkan tangannya di depan Anna yang tampak menahan pening. Segera Anna pun menyambut tangan dokter Zahra. Dan mereka berdua berjabat tangan.
Ada desiran hangat ketika tangan mereka bertemu, entah mengapa Anna merasa dirinya yakin bahwa dokter Zahra adalah perempuan yang baik, juga tulus.
Dokter Zahra membenahi letak selimut yang membalut tubuh Anna.
"Apakah ibu Anna keberatan jika saya ingin merawat ibu disini?,"
Dokter Zahra terlihat sedikit memelas. Ingin sekali rasanya ia memeluk sahabat yang amat dicintainya itu, begitu besar rasa rindu yang tengah dirasakannya. Sosok sahabat yang selalu ada, sahabat yang tak pernah jemu untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, sahabat yang saling menguatkan satu sama lain.
Tetiba, Zahra teringat saat kali pertama ia mengenal Anna, seorang gadis tomboy yang jutek dan sedikit sombong.
Celana jeans dan kaos oblong menjadi style andalan Anna kala itu.
"Sama sekali tidak dokter, saya justru sangat berterima kasih, tetapi maafkan saya, saya tidak ingin merepotkan dokter,"
Anna sedikit berbata.
Dokter Zahra mulai berkaca-kaca, begitupun Rizam yang sedari tadi menyimak percakapan, ia pun masih berdiri di depan pintu kamar Anna.
"Ya! Ini aku, Zahra Asyfa sahabatmu, apakah kamu ingat?"
Bersama nyeri di kepalanya. Bayang-bayang masa lalu pun datang menyerang memori ingatannya, satu per satu nama mulai ia kumpulkan dalam ruang hatinya yang sempat retak.
Flash back on
Ia melihat dirinya sendiri.
Tertidur pulas, bersama mimpi
Nyata?
Kemungkinan ya.Sepanjang tiga hari, tak tau ia pergi kemana. Kecuali hanya dilihatnya gubuk per gubuk yang berjajar di pinggir jalan mulus yang lebar dan hampir tak berujung. Dilihatnya pula orang-orang dengan busana warna putih, berbondong-bondong mengikuti arah jalan dengan damai.
Tak berteman dengan siang dan juga malam.
Hanya senja yang terasa.
Tak ada lapar atau dahaga, apalagi rasa rasa senang atau kecewa, yang ada hanya kedamaian.
Terus saja ia menunggu, namun tak juga ia tau apa yang sedang ditungguinya.
Sesekali ia mengikuti kemana orang-orang berbaju putih berjalan.
Sampai pada akhirnya, seseorang datang menghampirinya.
"Ria...."
Seorang laki-laki menyapanya seraya tersenyum.
"Rey... Apa kabar?"
Anna membalas dengan senyum kelembutan.
"Bagaimana kamu bisa sampai disini? Pulanglah, pulanglah Ria."
"Jangan teruskan jalanmu, berbalik arah lah dari arah orang-orang berjalan, kembalilah RI...,"
Anna masih menatap bimbang.
Flash back off
"Zahra, A... aku aku ingat, aku ingat semuanya!"
Anna berkaca-kaca.
"Alhamdulillah... Setelah semua ini, Allah masih bermurah hati pada kita."
Air mata bahagia telah mengguyur pipi Zahra, yang spontan memeluk Anna.
Rizam bersujud penuh syukur, matanya berair. Ingin rasanya ia segera bicara dengan Anna. Namun, apalah daya ketika ia baru melangkahkan kakinya ke dalam.
"Rey... aku mengingatnya."
Suara Anna menghentikan langkahnya.
Zahra yang berada dalam pelukannya, perlahan melepaskan.
"Apa? Rey?"
Zahra seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya langsung dari Anna.
"Ya, Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengannya. Aku ingat Za, tetapi... saat aku bertanya kabarnya, aku malah disuruh pergi"
Gurat kebimbangan mulai menari di wajahnya. Begitu pula di mata Zahra.
"Kamu yakin? Karena sebenarnya Rey itu.... "
"Zahra!"
Rizam tiba-tiba masuk dan memotong kalimat Zahra, yang sedari tadi disimaknya. Pria itu menggeleng perlahan.
Anna menatapnya penuh tanya.
"Loh, anda ini siapa?"
Rizam berusaha mengendalikan perasaannya, meski pertanyaan Anna membuatnya sesak.
Gubuk itu kembali dingin, seolah angin yang bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Gubuk Ke Dua
Spiritualité🌻Jangan lupa votes dan komen yaa, Pasti feedback kok. Komentarnya sangat membantu 🤗🤗 *Sebuah kisah yang diambil dari 50% berdasarkan kisah nyata. Direkomendasikan untuk anda, para pecinta fiksi, bernuansa religi. Yang akan menguak tentang berba...