"Bener kamu anaknya mama?"
Rasanya seperti ada di persidangan saja. Ada seorang pemuda yang duduk dikelilingi empat pemuda yang lain.
"Diem aja, nggak punya mulut emang?" Pemuda yang sama membuka mulut lagi. Masih dengan suara teduhnya yang terdengar begitu sinis malam ini. Padahal, biasanya dia menjadi seorang kakak yang menjadi panutan adik-adiknya, yang suaranya selalu mendamaikan hati, menyeleraskan suasana.
"Udah lah, Iv. Karan baru dateng dari Wonosobo. Lagian, dia memang adikku, Iv. Adik kandungku." Arlan berseru, menegur Kaiv yang menurutnya sudah kelewat batas.
Kali ini, Karan yang sedari tadi menundukkan kepalanya berusaha tersenyum dan mengangkat wajah. "Aku ... kayaknya salah alamat."
"Ran!" Arlan berseru, lalu mendekat ke arah Karan setelah menggeser tubuh Ragil dan Zakki. "Kamu udah datang ke alamat yang tepat. Ini rumah mama, rumah kamu juga mulai dari sekarang."
"Mas Arlan!" Kaiv, Zakki, dan Ragil berseru berbarengan. Apa-apaan, Arlan mengambil keputusan seenaknya sendiri. Membiarkan Karan datang dan akan tinggal.
Padahal jelas-jelas, Kalin—mama mereka—juga menunjukkan raut tidak suka saat melihat kedatangan Karan. Wanita itu bahkan langsung pergi ke kamar setelah Arlan membawa Karan masuk ke dalam rumah.
Tampaknya, Kalin menangis dan marah. Buktinya, dari ruang tamu saja bisa terdengar isakan dan seruannya yang beradu dengan suara sang ayah, Arjuna.
Karan merengut dalam diam. Suara-suara itu menegaskan bahwa kedatangannya ke rumah itu tidak pernah diharapkan. Tidak sama sekali!
Tapi mau bagaimana lagi, Karan akan menjadi sebatang kara jika dia bertahan di rumahnya yang lama. Juga, Karan datang ke rumah itu semata-mata demi menepati janjinya kepada sang ayah sebelum beliau meninggal.
Karan bangkit dari sofa, meraih tas ransel dan satu koper berukuran sedang miliknya kemudian akan beranjak pergi. "Sampaikan salamku buat ibu," katanya kepada Arlan.
"Ngapain nitip salam? Kamu bakalan tinggal di sini sama mas dan mama. Juga dengan papa dan saudara-saudara baru kamu, Ran."
Kaiv dan Zakki malah tidak setuju. Mereka berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar. Seolah meminta Karan agar cepat pergi meninggalkan rumah itu. Karan menatap mereka dengan tatapan sayunya. Baru saja langkahnya terarah menuju pintu saat tiba-tiba seorang pria datang ke ruang tamu lalu menahan lengan pemuda berusia 18 tahun itu.
"Kamu nggak usah pergi. Saya sudah bicara sama Kalin, istri saya. Saya adalah kepala rumah tangga di sini dan saya sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau tinggal di sini. Saya bahkan senang kalau kamu mau jadi anak saya yang kelima."
"Papa!!!"
Sumpah demi apa pun, Kaiv, Zakki, dan Ragil tidak percaya bahwa ayahnya akan mengambil keputusan secepat itu. Lebih-lebih, semaunya sendiri, tanpa berunding, tanpa meminta pendapat dari yang lain!
***
"Maaf, ya. Kamarnya kecil. Ini bekas kamar Ragil pas masih kecil, Ran. Jadi sempit dan nggak banyak perabotannya. Tapi, pas kamu ngasih tau mau dateng kemarin, mas buru-buru ngeberesin kamarnya."
Karan menganggukkan kepalanya sambil sedikit memainkan bibir. Menggigitnya dari dalam. Memanyunkannya sedikit. Begitulah kebiasaannya ketika sedang merasa sedikit ... tidak nyaman.
"Kemarin-kemarin, kamar ini ditempatin kalau temen-temennya Zakki atau Ragil pada dateng ke rumah. Nggak ada kamar mandi dalamnya, Ran. Nggak papa, kan?"
Lagi, Karan menganggukkan kepalanya sambil mengelilingkan pandangannya ke kamar barunya. Lumayan, tak begitu luas memang. Single bed, satu lemari, meja belajar, rak buku, dan nakas kecil di samping kasur. "Kamarnya pucet, kayak kamar mayat," gumamnya tanpa sadar.
"Hah?"
Kakaknya—Arlan—menatap Karan dengan penuh tanda tanya ketika mendengar gumaman barusan.
"Oh." Karan mengangkat telunjuknya dan menunjuk dinding. "Itu temboknya."
"Kenapa sama temboknya?"
"Ah, bukan apa-apa. Lupain aja. Bisa keluar nggak? Aku capek mau istirahat." Karan meletakkan koper dan ranselnya di pojok kamar. Gantian Arlan yang menganggukkan kepalanya. Pemuda berusia 24 tahun itu sesungguhnya ingin sekali memeluk Karan. Tapi entah kenapa, rasanya begitu canggung. Padahal, Karan itu adik kandungnya. Adik kandung yang sudah terpisah belasan tahun dengannya dan baru kembali bertemu hari ini.
"Ran ...." Bukannya keluar dari kamar itu, Arlan malah berdiri terpaku di belakang Karan yang kini sedang bersiap-siap melepas bajunya.
Karan urung membuka kaosnya lalu membalikkan badan menatap Arlan. "Ada apa lagi?"
Mata elang Karan terlalu tajam saat melontarkan kalimat itu. Arlan sampai gentar untuk mengutarakan isi hatinya. Sebagai gantinya, dia hanya bisa terkekeh canggung sambil mengusap tengkuknya. "Ehm, nggak apa-apa. Mas cuma mau bilang selamat istirahat."
"Tunggu!" Karan bergerak gesit, menahan tangan Arlan sampai membuat kakaknya terbang tinggi. Pikirnya, Karan pasti akan memeluk, atau paling tidak mengucapkan banyak kata-kata manis yang wajar diucapkan dari seorang saudara yang sudah lama tidak bertemu.
"Kamar mandinya di mana?"
Kalau tadi Arlan merasa diterbangkan, sekarang pengharapannya justru seolah dihempas keras-keras ke tanah.
"Oh kamar mandi, ya? Ehm, kamar mandi luar di rumah ini ada dua. Di lantai ini, kamar mandinya ada di ujung ruangan. Deket balkon sayap kanan rumah. Kalau yang di lantai bawah, ada di deket dapur. Atau kalau kamu mau, kamu bisa pakai kamar mandi Mas. Kamar Mas persis di sebelah kanan kamar kamu, Ran."
Karan berlalu dengan cueknya menuju kamar mandi. Membiarkan Arlan keluar dari kamar dengan sendirinya. Begitu mendengar bunyi pintu yang menutup, Karan menghela napas pasrah. "Woah. Itu Mas Arlan beneran? Setampan itu dia sekarang?"
Pemuda berusia 18 tahun itu keluar dari kamar mandi tak lama kemudian. Dia segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal. "Ini pertemuan pertama setelah belasan tahun nggak ketemu, terus tadi itu apa? Meluk aja nggak. Mama apalagi. Boro-boro meluk. Lihat aku malah kabur sambil nangis. Karan, Karan! Anak yang ditinggalin orang tuanya, sekarang apa lagi? Anak yang nggak diharapkan semua orang?"
Tubuh jangkungnya bergerak melengkung. Mereka tidak tahu bahwa ia benci sekali dengan warna putih, dan sekarang dia terpaksa harus tidur di sebuah kamar yang semuanya berwarna putih? Ia bisa saja mematikan lampu dan membiarkan gelap menyelubungi, tapi sayangnya, ia juga takut gelap. Jadi Karan lebih memilih untuk bertahan dalam kebenciannya. Ia bertaruh dalam hati, berapa lama ia bisa bertahan tinggal di rumah itu? Tinggal bersama dengan orang-orang yang sama sekali tak mengenalnya luar dalam.
Karan menghela napas lagi, tangannya menjulur meraih ponselnya lalu menelepon nomor ponsel ayahnya. Ia menempelkan ponsel itu ke telinga kanan, membiarkan nada sambung mengalun ke kepalanya. Semenit, dua menit, tiga menit, empat menit. Setelah berkali-kali melakukan panggilan, hanya nada sambung yang selalu ia dengar.
Karan terkekeh lagi, mengutuk kebodohannya. Mau sampai seribu tahun ia menelpon pun, panggilannya tak akan pernah tersambung. Nomor ponsel sang ayah tinggallah nomor ponsel tanpa tuannya. Sedang ayahnya tinggallah nama. Ya, ayahnya baru saja meninggal beberapa hari yang lalu.
Ponsel ayahnya ia bawa sekarang, ada di tas. Sengaja hanya diberi getar. Agar ketika dia menelpon seperti sekarang, hanya terasa seperti ayahnya sedang sibuk dan tak sempat menerima panggilannya.
"Ayah lagi ngapain, ya? Apa ayah udah tenang di sana? Apa ayah juga kangen sama Karan kayak Karan yang kangen sama ayah?"
Karan meraih ujung selimut lalu menariknya hingga menutupi tubuhnya. "Ayah, aku harus gimana, Yah? Tolong kasih tahu Karan supaya Karan kuat dan nggak berpikir bahwa ada baiknya kalau Karan juga pergi nyusul ayah aja."
***Lost Tales***

KAMU SEDANG MEMBACA
LOST TALES
Ficción GeneralKaran hidup bersama dongeng tentang matahari tenggelam yang menguatkannya sepanjang waktu. Kata ayah, manusia dan perasaannya itu seperti senja. Bergantian, tidak kekal, dan berubah. Tapi, saat ayahnya meninggal, Karan baru sadar bahwa ada dongeng y...