[Jaehwan] Mentee

128 13 41
                                    

Terhitung dua belas menit saya menunggu bus datang di sini. Tas berat penuh baju, perut keroncongan, mata ngantuk. Paket komplit buat saya.

Begitu dapat bus, saya langsung duduk di satu kursi kosong yang tersisa. Saya sunggingkan senyum pada ibu berpakaian gamis di sebelah saya, kemudian menaruh ransel di atas pangkuan. Selain untuk menambah volume duduk, juga untuk menambah kenyamanan selama perjalanan.

Bus sudah penuh hari ini, tapi masih berani menaikkan penumpang. Belum lagi kecepatan berkendara pak supir membuat nyawa penumpang berada di ujung rem. Pantas saja dijuluki Setan Merah.

Saya merogoh saku almamater yang terlalu rajin saya kenakan, mengambil headset dari sana dan menyambungkannya ke ponsel. Belum sempat memasang kedua speaker-nya ke telinga, seseorang menyolek bahu saya.

Saya kaget, hampir saja latah dan bisa saja ibu di sebelah saya tertawa. Rupanya yang menyolek saya tadi adalah kondektur bus. Saya perhatikan telunjuk kanannya bergerak naik-turun, sementara telapak tangan kirinya memegang lembaran uang beragam warna.

Oh, narikin ongkos.

Saya merogoh kantung almamater lagi, kali ini yang di sebelah kiri, dan mengeluarkan lembar uang sepuluh ribu untuk diberikan.

"Kurang, dek."

Hmm.

Saya paling tidak suka situasi seperti ini.

"Biasanya ceban, Bang," jawab saya sok polos.

"Ini, kan, hari Minggu. Tarif naik. Orang-orang juga udah pada tau, Dek."

Saya juga tau, kok. Tapi saya pasang wajah cengo saja kemudian memasang headset ke telinga sementara kondektur tadi masih di sebelah saya. Biarin saja. Saya tunggu dia pergi. Siapa tau menyerah.

"Dek, eh."

Allahu...

Saya memutar bola mata dan mengeluarkan lima ribu rupiah dari kantung saya untuk diberikan ke tangan bapak tadi. Hari ini saya sedang malas berdebat, jadi akhirnya saya yang nyerah.

Seorang pengamen naik ke dalam bus. Mengucap salam dan mulai bernyanyi. Rambutnya hitam sebahu, kulitnya coklat, dan dia pakai kacamata hitam.

Saya pernah bilang ke ibu kalau saya mau memanjangkan rambut, kira-kira sepanjang pengamen ini, tapi malah diceramahi bermenit-menit. Katanya nanti ngga ada perempuan yang mau deketin saya. Saya, sih, ngga masalah. Saya masih mau fokus belajar. Tapi ibu saya bilang lagi, nanti pipi Sinchan saya bakal terlihat ngga bagus kalau rambut saya panjang. Saya ngga suka. Sumber kepercayaan diri saya, kan, di pipi. Jadi niat memanjangkan rambut, untung-untung sepanjang rambut kepala Moon Bok ... kapan-kapan saja deh.

Saya sedang membuka instagram ketika postingan Seong Woo membuat tawa saya menggelora. Kenapa, sih, dia tidak bisa kendalikan muka lawaknya itu?

Tapi saya akhirnya berhenti tertawa ketika hampir seisi bus menoleh kepada saya.

He, he.

Saya tertawa canggung lalu menutupi mulut sampai hidung dengan masker dari dalam tas.

Sampai di Tangerang City, ada beberapa orang yang naik. Saya sempat suudzon itu abang tukang salak atau penjual minuman atau pengamen atau atau lainnya. Tapi rupanya hanya para penumpang dan salah satu dari mereka membuat saya panik.

Itu, kan, mentee-nya Minhyun.

Uhuk.

Tidak ada kursi lagi yang tersisa, jadi mentee Minhyun di ospek jurusan itu pun berdiri di dekat saya duduk. Hal ini membuat saya semakin tidak berani membuka masker karena takut dia kabur melihat wajah saya.

Iya, saya, kan, komdis di osjur waktu itu dan dia pernah saya bentak.

Tapi tiap kali ketemu di kampus, malah jantung saya yang kayak dibentak dan anehnya, kedua sudut bibir saya selalu terangkat.

Barang bawaannya banyak sekali. Mungkin ibunya membekali persediaan untuk seminggu di kostan. Dia naik bus sendirian dan saya jadi tidak tega melihat dia berhimpitan di antara bapak-bapak.

"Nay," panggil saya setelah membuka masker. Itu juga dengan mengumpulkan segenap keberanian.

Dia menoleh dan membuat saya agak gugup. Matanya membola karena terkejut dan dia tersenyum canggung. "Oh, hai, kak Jaehwan."

Dia. Tau. Nama. Saya.

"Sini duduk. Biar saya yang berdiri."

Tiga pasang mata bapak-bapak menatap saya, plus sepasang mata coklat terang milik Nayla.

"Ngga usah, Kak. Gapapa, kok."

Meski ditolak, saya tetap berdiri dan menyerahkan tempat duduk pada Nayla yang masih ragu. Saya tau kesan komdis saya pasti masih tercetak jelas di ingatan dia.

"Saya juga gapapa, kok," jawab saya dan tersenyum.

Nayla bergeser, saya tau dia keberatan membawa tas sebesar itu di punggung. Dia duduk di tempat saya, dan saya berdiri di sampingnya.

"Makasih, ya, Kak."

"Sama-sama."

Selanjutnya berjalan biasa saja. Tapi yang tidak bisa biasa adalah degupan jantung saya.

Dia tertidur dan saya memakai masker saya sambil mendengarkan musik. Tak lupa berpegangan pada pegangan bus supaya tidak terlempar ke depan ketika pak supir menginjak rem.

Kalau saya cerita sama Minhyun atau yang lainnya, bisa diledek habis-habisan ini.

Ada Apa di Dalam Bus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang