[Seong Woo] Mudik Puasa

26 7 9
                                    

Jadi hari ini hari kedua puasa. Mama udah nelponin saya terus dari kemarin, minta saya pulang ke rumah kalo udah kelar ngampus. Beliau berulang kali nanya saya sahur dan buka puasa pake lauk apa, nyuruh saya beli sayur, susu, dan sebagainya, sampe bang Ha Sung iri karena yang perhatian sama dia cuma kakeknya yang punya kebun luas itu.

"Kali kali kali kali! Bitung Balaraja!"

Nah. Si Merah tiba.

Saya naik ke dalam bus yang lumayan sepi, mencari tempat duduk di dekat jendela dan sempat heboh karena belum juga duduk, busnya sudah tancap gas.

"Adudududuuh."

Tadinya mau bareng sama Bae Jin alias Jinyoung, tapi tugas pengabdian dia belum selesai, masih harus ngajarin anak-anak ngaji sama kelompoknya. Saya, sih, sudah semester dua kemarin dan pengalamannya seru banget! Ngga harus nunggu PPL, di semester dua kita udah punya pengalaman ngajar. Haha.

Lama-lama, saya gabut sendiri di bus. Ngga ada temen ngobrol, cuaca panas, perjalanan masih jauh. Butuh pendamping, eh.

Oh, uya--eh iya, tadi saya sempat mikirin persentasi berkurangnya polusi asap rokok yang selama pengalaman saya naik bus ke Tangerang selalu berhasil mencekik pernapasan. Bulan puasa gini, rupanya ngga ada yang ngerokok! Ngga perlu pake masker kan....

Saya telepon Daniel dulu.

"Halo, Kabayan! Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam. Aya naon?"

"Perkiraan gue bener. Udara lebih sejuk, Bor!"

"Ah. Gitu aja lebay. Kirain kenapa. Udah, ya. Gue ngantuk, mau tidur dulu."

"Baru juga jam satu."

"Gue gabut di kostan. Belum bisa pulang ke Bandung. Udah, ya. Assalamu'alaikum."

Biiip.

"Wa'alaikumsalam." Saya manyun. Gabut lagi. Sampe akhirnya ketiduran.

Saya sempat mimpi buka puasa pakai semangkuk es campur, lauk makannya tempe mendoan dan saus kecap. Nikmaat banget sampe suara menggelegar mengagetkan saya.

"Pintu pintu pintu!"

Saya kelabakan waktu kondektur teriak begitu. Pasalnya itu berarti sudah mau sampai tempat tujuan saya, Pintu Air. "Tunggu, Bang!"

Nyawa yang belum terkumpul membuat saya oleng waktu berdiri dan jalan ke depan. Hampir aja nabrak mba-mba di depan saya, yang kayaknya saya kenal.

"Jihan?" Saya ngucek-ngucek mata saya pelan.

Perempuan di depan saya noleh dan melebarkan senyum. "Eh, mas Ong!"

"Hehe. Tumben ketemu," ucap saya sambil ikut berjalan ke depan, lalu turun.

Saya pindah ke sebelah kiri Jihan dan menyeberang jalan sambil rentangin tangan kiri saya ke samping.

"Aku pulang tiap Jum'at, Mas. Mas Ong nya aja kali yang sibuk jadi ngga pernah ketemu," kata Jihan.

"Mas pulang dua minggu sekali. Ini karena puasa aja, si Mama rewel kangen pengin puasa bareng, haha!" balas saya sambil garuk-garuk leher belakang yang yah--ngga gatal.

"Hehe, iya."

Akhirnya, saya sama Jihan yang merupakan tetangga depan rumah saya naik angkot hijau-putih bareng. Ngantuk saya langsung menguap entah kemana. Hehe.

.
.
.

1. Di sini aku jadi Jihan boleh ngga? '-'

2. Eh tapi, hidup jauh dari asap rokok itu jauh lebih enak, loh.

3. Btw, kalian mampir juga dong ke bukuku yang judulnya don't go. Ada Ong di sana sebagai pekerja di Suicide Prevention Hotline. Tapi sebelumnya baca deskripsi sampai bawah dulu ya. Thankseu~


Ada Apa di Dalam Bus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang