Pahlawan Kesiangan

162 5 0
                                    

Hampir seminggu Ayu tak pernah masuk sekolah sejak kematian Sofyan beberapa hari yang lalu. Apa mungkin Ayu depresi? Ewin juga tak sekali pun datang ke rumah Ayu untuk menjenguknya karena masih dalam kekangan Papa.

“Kenapa lu sedih terus, Bro?” tanya Fahmi bingung. Dia juga ikutan sedih.

“Jangan ganggu dia! Ewin lagi gagana,” tegur Ryan.

“Oh iya, kok Ayu nggak pernah kelihatan lagi? Apa dia berhenti sekolah, ya?” Fahmi meracau.

“Ush, kamu ini! Ayu lagi sakit, makanya tak pernah masuk. Bisa jadi karena syok mendengar kematian pacar terkasihnya,” ucap Ryan.

Ewin masih saja termenung.

“Wah, seharusnya lu nggak perlu cemas lagi karena saingan terberat udah tiada. Sekarang lu mesti gunain kesempatan ini untuk dekatin dia. Gimana?” Fahmi menawarkan.

Ewin tidak membalas tawaran Fahmi. Dia masih termenung.

“Oh iya, gue masih penasaran. Gimana dengan sepucuk senja lu itu?” Fahmi menyiku Ewin.

Ewin sontak melirik ke arah Fahmi. Ewin baru sadar soal sepucuk senja itu.

Dengan muka loyo, akhirnya Ewin menyahut. “Dua tangkai mawar itu layu. Pas aku mau kasih, tiba-tiba saja Ayu mau angkat telepon dan terpaksa kuurungkan.”

“Mungkin saja dua tangkai mawar itu terlalu lama. Tidak pernah disiram, kan? Pasti mati.” Ryan angkat bicara.

“Tapi, aku masih harus kasih sepucuk senja yang Ayu minta. Itu sudah janji dan aku bukan pengingkar janji,” tekad Ewin.

“Beli aja lagi dan langsung dikasih. Jangan nunda-nunda mulu’!” usul Fahmi.

“Oke deh. Tapi gimana ngasihnya?” Ewin menggigit bibirnya.

“Lu jenguk aja nanti pulang sekolah.”

“Pulang sekolah? Kamu mau lihat aku mati diomelin Papa?”

“Kok bisa gitu?”

“Kamu kan tahu kalau Papa aku sangat ngelarang keluyuran terus.”

“Izin saja!” Fahmi mengedipkan-kedipnya matanya genit.

“Alasannya?”

“Bilang aja mau kerja kelompok atau keja tugas gitu!”

“Masa iya, aku harus bohong. Ngga mau, ah!”

“Jujur saja! Pasti Papa kamu izinin kok kalau mau jenguk teman yang lagi sakit. Percaya deh.” Ryan memberi usul.

“Baiklah!” Ewin mengangguk mantap.

Kemudian setelah pulang sekolah, Ewin, Ryan, dan Fahmi langsung bergegas menuju tukang bunga di dekat masjid yang kemarin itu. Untungnya si tukang bunga beserta gerobaknya masih ada.

“Pak, kami mau beli lagi,” teriak Ewin.

Bukannya tukang bunga itu menyambut dengan baik pelanggannya, eh, malah berusaha untuk kabur. Dia langsung mengangkat besi gerobaknya dan mencoba untuk berjalan menjauh.

“Pak, tungguin!” Ewin berteriak lagi.

Ewin terus berlari mengejar si tukang bunga diikuti Ryan dan Fahmi yang juga ikutan berlari.

Dengan megap-megap, akhirnya Ewin berhasil mencegat langkah si tukang bunga. Tukang bunga itu langsung memandang sinis ke arah Ewin, juga Ryan dan Fahmi yang baru sampai.

“Hosh! Hosh! Bapak ini, kita mau beli malah ditinggalin,” keluh Ewin.

“Cepat! Mau beli apa?” tanya si tukang bunga ketus.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang