Masa Kecil

89 2 1
                                    

Bingung. Itulah yang Ewin rasakan saat ini. Ketika mata Ryan dan Fahmi masih menyorot padanya, dia jadi kikuk sendiri. Dia mencoba memperhatikan perempuan berkacamata yang berdiri di hadapannya, mulai dari rambut panjang hingga kaki jenjangnya. Dia siapa? Ewin benar-benar tidak ingat.

Sementara itu, Ryan yang tadinya hendak maju dan menyalami tangan perempuan itu meski rasa gugup masih belum beranjak dari kaki dan tangannya kini malah mundur. Angge menyebut nama Ewin, bukan namanya. Ini benar-benar di luar prediksi.

Oke. Ewin memang bukan lelaki yang jelek, bahkan bisa masuk kategori tampan (meskipun tidak tampan banget). Prestasinya biasa saja. Dia bukan cowok populer. Ewin juga tidak aktif di organisasi apapun sehingga dia hanya berkutat sama akademiknya. Di dunia yang sekecil kolong meja, Ewin hanya memiliki dua sahabat sejati, Ryan dan Fahmi. Saat seorang perempuan cantik dari sekolah lain bisa mengenalnya, itu tentu saja mukjizat.

Ryan jadi iri. Dia lelaki yang cukup populer bagi para cecunguk akademik dan beberapa bidang organisasi, tapi dia malah baru mengenal Angge. Itu pun karena Perpusda.

"EWIN!" Angge menyahut lagi. Ewin tambah bingung. "Kamu lupa sama aku?"

Ewin memutar otaknya. Dia berusaha mengingat-ingat gerangan perempuan itu. Mulai dari teman dari sekitar rumahnya, teman SD, SMP, hingga mungkin teman yang sekadar kenal. Tidak ada. Tidak ada bayangan sedikit pun.

"Oh Tuhan, kamu benar lupain aku!" Angge masih mencoba untuk membuat Ewin mengingatnya. Dia kedipkan kedua matanya yang bulat. Dia kibaskan sedikit rambut panjangnya. "Aku Anggi, Win," katanya menyebut namanya, nama yang berbeda yang dia pernah berikan sama Ryan. "Kita pernah tetanggaan tapi akhirnya aku pindah ke Bandung."

"Ya Ampun... kamu sudah besar toh, Nggi?" seru Ewin ketika akhirnya dia bisa mengingat perempuan itu.

"Enak saja. Kau kira aku kecil terus apa?"

Angge mendekat ke arah Ewin, begitupun dengan lelaki itu. Mereka hampir berpelukan, tapi urung. Mereka hanya salaman dengan durasi yang cukup lama. Ryan yang memperhatikan kejadian agak membingungkan itu membuat matanya semakin membulat.

Ewin dan Angge alias Anggi memang sahabatan saat masih kanak-kanak, tepatnya ketika mereka berumur delapan tahun. Saat itu, mereka seperti dua anak yang tak terpisahkan. Keduanya senantiasa bersama. Meskipun kebersamaan itu selalu dilalui dengan pertengkaran yang tak jua habis-habisnya.

Nama Anggi sendiri hanya diberikan oleh Ewin. Kalau keluarganya memanggil perempuan itu dengan nama Reni, dari nama lengkapnya Anggreni. Sedang teman-temannya yang lain memanggilnya Angge. Itu baru persoalan nama.

Selain nama, Angge juga merupakan seorang perempuan yang tomboy. Dia memiliki rambut pendek, hampir seperti rambut laki-laki. Perempuan itu pun bertubuh mungil dan sedikit gemuk saat kecil. Barangkali, dengan alasan itu, Ewin sempat tidak mengingatnya tadi.

Karena tomboy, Angge selalu bisa ikut dengan permainan apapun yang dilakukan Ewin. Bermain bola. Kelereng. Hingga panjat pohon kerseng. Bahkan, Angge juga pernah membantu Ewin berkelahi dengan beberapa anak laki-laki yang sedang mencoba mengganggu mereka.

Ajaib! Perkelahian itu berakhir dengan menangisnya salah satu anak nakal yang menggangu mereka. Anak nakal bertubuh gembrot itu merengek habis-habisan, sampai-sampai mengadu ke bapaknya. Akibatnya, Ewin dan Angge diomeli saat pulang ke rumah.

"Anak nakal!" Begitu kata Bapak saat menyembur ke arah Ewin. "Bobi kau apain sampai-sampai bapaknya datang ngomel-ngomel?"

"Dia duluan, Pak, yang gangguin Ewin sama Anggi main."

Bapak tidak terima. Dia tetap menghukum Ewin dengan memukuli pantatnya. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat Ewin meringis sakit. Hal yang sama juga terjadi pada Angge. Perempuan itu dihukum bapaknya dengan dicambuki jari-jarinya pakai beberapa batang lidi.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang