Senja Paling Manis

48 1 0
                                    

Ewin berjalan di koridor sekolah dengan perasaan yang sangat kacau. Ada banyak hal yang seolah memenuhi kerangka otaknya. Persahabatan. Percintaan. Keluarga. Bahkan sekolahnya sendiri. Termasuk hari ini, sekali lagi dia datang terlambat, tapi dia tidak memikirkan hal itu meskipun lelaki itu tahu kalau guru yang mengajar pada jam pelajaran pertama pasti akan menghukumnya lagi, tapi sudahlah, dia sudah biasa menerimanya. Dia hanya terus berjalan, melewati kelas demi kelas dengan wajah yang murung.

Pandangan Ewin juga kosong. Dia berpapasan dengan banyak siswa hari ini, tapi dia tidak sekali pun mengindahkannya. Apa yang sekarang menjanggal di otaknya hanya satu, tentang keadaan Ayu saat ini. Betapa cemas dia memikirkan hal itu. Semalam Ewin juga tidak bisa tidur dengan lelap gara-gara di pikirannya hanya terlintas nama Ayu.

Sudah berkali-kali Ewin mencoba untuk menghubunginya tapi perempuan senja itu seolah hilang, lenyap ditelan bumi. Nomornya aktif, tapi tidak seorang pun di seberang sana yang mengangkatnya. Ewin juga sudah mengirim tujuh sampai delapan pesan singkat, tapi tidak satu pun dibalasnya. Apa yang terjadi dengan perempuan senjaku? Ratapnya.

Beberapa langkah lagi menuju kelas, Ewin tampak makin lesu. Dia harusnya mendengarkan Ibu untuk tidak masuk hari ini. Tadi pagi sebelum berangkat, Ibu memang sempat menahannya karena melihat wajahnya yang kelihatan tidak sehat, tapi lelaki itu bersikeras untuk tetap pergi.

Si kepala batu itu kemudian mendapati bagian depan kelasnya yang sudah tampak sepi. Barangkali saja Bu Rahma sudah duduk dengan tampang sinis di depan para teman kelasnya. Baru dua langkah, dua laki-laki keluar. Mereka Fahmi, dan Ryan?

Ewin begitu bahagia melihat mereka berdua berjalan beriringan. Dan jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga menginginkan persahabatannya kembali utuh dan dia bisa berjalan di samping mereka. Tapi apa mungkin? Mungkin saja.

Ewin terus berjalan, sementara Fahmi dan Ryan sedikit terkejut saat melihatnya. Kedua laki-laki itu kemudian memelankan langkah mereka. Fahmi yang berjalan agak di depan sontak tersenyum, sedangkan Ryan di belakangnya menunduk bingung.

“Gue kira lu nggak datang, Win?!” kata Fahmi kemudian.

Ewin hanya tersenyum. Dia menatap Ryan, dan mencoba untuk berbicara dengannya tapi entah kenapa kalimat yang hendak dia keluarkan seakan-akan tertahan. Saat Ewin akhirnya hanya mampu pasrah dan kemudian bergerak perlahan melewati kedua sahabatnya itu, Ryan pun angkat bicara.

“Ewin...” serunya, membuat Ewin mendadak salah tingkah. Dia pun menghentikan langkahnya, dan diam menatap Ryan. “Maafkan aku, Win. Aku tidak seharusnya bertindak kasar padamu tempo hari. Aku terlalu egois.”

Guntur yang sepanjang hari menghiasi hati Ewin akhirnya berhenti. Ewin lalu tersenyum dan mulai bicara dengan bibir sedikit bergetar. “Kamu sahabatku, Ryan. Aku tidak pernah marah dengan sahabatku untuk alasan apapun.”

“Aku benar-benar bodoh, Win. Aku sudah hilang akal karena satu orang perempuan.”

Ewin sekali lagi tersenyum. “Tidak masalah, Ryan. Setiap orang yang jatuh cinta akan selalu melakukan hal bodoh, secerdas apapun dirinya.”

“Kalau begitu, apa kita sekarang sudah bersahabat lagi?”

“Kita tidak pernah saling bermusuhan, Ryan. Kemarin, sekarang, dan besok, kita tetap bersahabat.”

Fahmi yang dari tadi berseru lalu menimpal. “Woi, sudah! Nanti reuninya. Kalian pada mau dihukum sama Bu Rahma. Kita cuma minta izin ke WC loh tadi.”

Ewin dan Ryan lantas tergelak. Dan benar saja, Bu Rahma malah muncul tiba-tiba di antara mereka. Ewin dan Ryan langsung saling memandang ngeri. Guru mungil itu menatap mereka dingin dengan mata yang berkilat di sudutnya. Sepertinya, darah Bu Rahma mulai mendidih.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang