Kencan Pertama

46 1 0
                                    

Bel berdering sedari tadi. Seperti biasa, sambil menunggu guru yang mengajar pada jam pertama datang, Ewin, Ryan, dan Fahmi sudah berkumpul di depan kelas, membincangkan banyak hal. Mereka duduk di bangku panjang yang memang tersedia di sepanjang koridor. Bukan hanya mereka sebenarnya yang berkumpul di depan kelas seraya menunggui guru datang, ada juga beberapa siswa di kelas yang sama, atau kelas tetangga. Itu sudah seperti tradisi yang telah berlangsung lama.

“Bagaimana kencan lu kemarin?” Fahmi membuka hari itu dengan pertanyaan yang membuat mata Ryan memelotot. Sekejap, Ryan menyipitkan matanya ke arah Ewin.

Lelaki berkacamata itu memang pergi bersama Ewin menemui Angge. Ada banyak hal yang terjadi. Tapi, sebelum Fahmi tahu semua hal itu, Ryan segera mengalihkan pembicaraan. “Kau ketemu sama perempuan yang kau tunggu-tunggu itu, kan? Siapa lagi namanya?” tanyanya dengan nada mengejek.

“Dilla,” timpal Ewin, lantas terbahak. “Lihat muka Fahmi! Merah...”

Fahmi langsung memperbaiki posisi duduknya. Dia mengerut-kerutkan wajahnya, merasa semua tampak baik-baik saja, seakan dia ingin mengatakan bahwa wajahnya tidak memerah. “Apa-apaan. Mukaku tidak merah, kok.”

“Ngaku ajalah kalau pipimu merah, Mi,” goda Ryan.

Lelaki berwajah Lee Min Ho kw-9 itu sontak cemberut, lalu membelakang. Dia memonyongkan bibirnya.

“Ngambek dia!” ledek Ewin.

Diam sejenak. Angin berembus pelan. Fahmi kemudian berbalik dan memandangi temannya satu-satu. “Lu pada tahu gak sih, cewek itu labil banget. Sedikit-sedikit ramah, sedikit-sedikit malah mendingin. Kemarin saja pas dia datang, dia gak pernah ngerespons sedikit pun pembicaraan gue. Gue kayak monolog jadinya,” cerita Fahmi.

“Hati-hati, Mi. Jangan sampai dia siluman. Seperti dalam film-film, perempuan siluman itu akan menerkam mangsanya. Hmhm, kalau kamu kemakan, kita akan kehilangan sahabat paling tampan nan konyol.” Ryan menghela napas. “Bener kan, Win?”

“Ah, lu!” sikut Fahmi. “Gue serius tauk. Cewek itu benar-benar aneh. Tapi...”

“Tapi apa?” tanya Ewin penasaran. Dia mendekatkan wajahnya.

“Dia aneh, tapi gue suka.”

Kalimat Fahmi sontak membuat Ewin dan Ryan hampir muntah berjamaah. Lelaki itu meskipun tampannya kebangetan, tapi konyolnya juga minta ampun. Tapi itulah arti persahabatan untuk mereka. Sahabat ialah yang mengajak kita untuk konyol bareng.

“Oh iya, bagaimana dengan lu, Ryan? Cerita dong. Gue penasaran nih.”

Melihat Fahmi yang memasang tampang melas, Ryan sekejap membenamkan wajahnya di tangan. Dia bingung harus memulai dari mana sebab pertemuannya dengan Angge kemarin merupakan cerita yang panjang. Ryan menarik napasnya kuat-kuat, dan mengembuskannya pelan-pelan.

“Aduh, lama amat sih. Cerita kali. Gue lumutan nih,” desak Fahmi. Ryan sontak mendengus.

“Oke, begini...”

Setelah meninggalkan sekolah bareng Ewin kemarin, Ryan dan Ewin memutuskan untuk kembali ke rumah lebih dulu. Selain minta izin pada orang tua masing-masing, mereka hendak ganti baju. Tidak lucu, kan, kalau mereka datang ke kafe dengan masih mengenakan seragam sekolah. Nanti malah kena razia sama Satpol PP, dikira anak sekolahan yang lagi bolos dan kumpul kebo.

Usai itu, mereka janjian ketemu di Green Cafe pada jam yang sudah mereka tentukan. Pukul 14.00. Seperti biasa, orang yang selalu memegang prinsip kedisiplinan, Ryan datang lebih awal. Sementara Ewin yang seperti biasa juga datang terlambat. Ryan terang saja gelisah tak karuan. Bagaimana jika Ewin malah ingkar janji? Tapi tidak, Ryan percaya kalau sahabatnya bukan orang seperti itu. Hanya saja, Ryan takut jika Angge lebih dulu datang ketimbang Ewin. Apa jadinya nanti?

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang