Akhir Sebuah Senja

124 5 0
                                    

“Katakanlah, Win!”

“Ini saatnya lu bergerak. Jangan sampai lu nyesel, Win.”

“Ingat, Win, waktu tidak akan pernah bergerak mundur.”

“Lu kan juga punya janji. Ngasih dia sepucuk senja. Lelaki hebat selalu memegang janjinya.”

Kalimat kedua sahabatnya terus menerus terngiang di gendang telinga lelaki tinggi kurus itu. Dia benar-benar bingung. Tentu saja, dia sangat ingin menyatakan apa yang sudah bertahun-tahun tersimpan di dalam sukmanya. Tapi... apa benar ini waktu yang tepat sementara kondisi perempuan senja itu sedang tidak membaik.

Sangat tidak baik.

Hari ini Ewin mendapat kabar dari nenek kalau Ayu dilarikan lagi ke rumah sakit. Kondisinya benar-benar drop. Sudah berkali-kali perempuan itu muntah. Suhu badannya juga sangat tinggi.

Setelah minta izin sama Ayah, setelah memastikan kondisi Ibu baik-baik saja dan tidak akan terjadi apa-apa jika ditinggalkan, Ewin langsung melajukan motornya ke rumah sakit. Dia melajukan motornya dengan kecepatan sekitar 60 km/jam. Untung hari sedang sangat bersahabat, dengan langit cerah berawan, sehingga makin membuat Ewin mantap menemui Ayu.

Saat tertahan di lampu merah perempatan taman kota, Ewin tiba-tiba melihat tukang bunga yang sedang memarkirkan gerobak bunganya di tepi taman. Ewin ingat tukang bunga itu. Betul sekali. Dia adalah tukang bunga yang sama yang Ewin pernah beli bunganya. Dua tangkai mawar yang masing-masing berwarna oranye dan kuning. Oranye sebagai hasrat cintanya, dan kuning sebagai bentuk persahabatannya.

Senyum Ewin tersimpul mengenang hal itu.

Pipp! Bunyi klakson dari kendaraan di belakangnya sontak membuyarkan lamunannya. Ewin yang sempat membuat beberapa pengendara sedikit mencak-mencak kemudian melanjutkan laju motornya. Di tepi taman itulah, Ewin lalu berhenti, tepat di dekat gerobak bunga. Dia menatap si tukang bunga sambil senyam-senyum hingga membuat kening lelaki berkumis itu jadi mengkerut.

“Hai, Mas. Mau beli?” tegurnya.

“Iya, Mas. Aku beli setangkai mawar oranye. Buruan ya, Mas. Aku lagi buru-buru.”

Si tukang bunga mendesah. “Tumben, Mas. Biasanya bikin gregetan,” canda tukang bunga itu sambil menyodorkan setangkai mawar merah yang sudah dibungkusnya dengan plastik bening.

Ewin segera meraih setangkai mawar itu dan memberikan si tukang bunga Rp 50.000,-

“Kebanyakan, Mas,” kata si tukang bunga heran.

“Tidak apa-apa. Ambil saja kembaliannya, Mas.” Ewin tersenyum, lalu bergegas naik kembali ke motornya dan melaju dengan kencang.

Ewin tiba di rumah sakit saat azan ashar sedang menggema. Dia langsung berlari ke Kamar Pavilyun tempat Ayu rawat inap. Di depan kamar, nenek sudah tampak duduk dengan wajah yang gelisah. Ewin menghampiri nenek, dan dengan suara yang menggebu dia langsung bertanya-tanya, “Bagaimana kabar Ayu, Nek? Dia baik-baik saja, kan?” setelahnya, Ewin terduduk di bangku tunggu dengan lemas seraya meletakkan setangkai mawarnya ke bangku.

Nenek memandangi Ewin. “Doakan saja yang terbaik, Nak. Semoga Nak Ayu segera pulih kembali. Ibu dan bapaknya sudah berada di dalam.”

Nenek benar. Hal yang Ayu butuhkan saat ini ialah doa. Ewin pun sontak berdiri, lalu pamit ke mushallah. Ashar sudah menunggunya. Tuhan sudah menanti doanya.

“Ya Allah Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah Ayu, sembuhkanlah sahabatku itu. Dia orang yang baik. Biarkan dia hidup lebih lama lagi untuk neneknya, ibunya, bapaknya, dan sahabat-sahabatnya. Kami masih menginginkannya, ya Allah.” Ewin mengakhiri doanya dengan suara yang paling lembut, suara yang langsung datang dari hatinya.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang