Keputusan Terbulat

37 1 0
                                    

Sepertinya malam ini akan cukup panjang buat Ewin. Sejenak dia membaringkan tubuhnya di kasur sambil menatap langit-langit, tiba-tiba dia mendapatkan panggilan telepon dari sahabatnya yang paling cerdas di antara mereka, Ryan. Ewin sadar ketika Ryan mulai menghubunginya, itu berarti dia siap mendengar apapun yang akan dicurhatkan si Mr. Google.

“Aku tidak bisa tidur malam ini, Win,” katanya ketika panggilan telepon itu mulai tersambung. “Di kepalaku saat ini hanya ada wajah Angge yang terbayang.”

“Apa? Kamu benar-benar mencintainya ya, Ryan?”

“Aku tidak bisa menyebut ini sebagai cinta, Win, dan aku juga tidak tahu harus menyebutnya dengan apa, tapi aku merasakan debaran yang sangat aneh. Aku memang pernah baca kalau hasrat mencinta memang menjadi penyebab debaran yang sangat tinggi dalam dada seseorang, tapi apa benar aku mencintainya?”

Ewin mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ryan yang teramat panjang.

“Tanyakan pada hatimu, Ryan!” saran Ewin. Dia sebenarnya cukup mengantuk untuk sebuah obrolan melalui sambungan telepon malam ini, tapi demi sahabatnya, dia sanggup menjadi pendengar setia.

“Aku benar-benar bingung, Win,” suara Ryan tiba-tiba menghilang, tapi terdengar percikan air yang meluncur ke dalam gelas. Ryan barangkali sedang minum.

“Ryan? Apa kamu masih di sana?” tanya Ewin sedikit bingung menyadari suara Ryan yang mendadak hilang.

“Aku baru saja minum, Win. Aku tidak tahu tapi aku selalu haus kalau sedang stres seperti ini.”

“Kamu stres?”

“Entah, Win. Oh iya, bagaimana menurutmu soal Angge? Kau kan teman kecilnya.”

“Kalau dulu sih dia baik banget. Kami sering main bareng. Saat itu dia tomboi sekali. Dia suka manjat dan main bola, juga main kelereng. Dia juga...” suara Ewin tertahan.

“Apa, Win?”

“Anggi, aku memanggilnya Anggi, dia suka bertengkar. Dia pernah ngelawan dua laki-laki yang gangguin kami main. Dan, dia berhasil membuat dua laki-laki itu menangis.” Mengingat itu, Ewin tertawa terbahak-bahak. Betapa lucu dia mengenang kisah itu.

“Tapi, dia sekarang feminin sih,” lanjut Ewin. “Dia juga masih sangat baik. Kamu lihat sendiri kan tadi, Ryan? Bagaimana dia tertawa? Bagaimana dia berbicara dengan begitu ramah padamu?”

Ryan terdiam. Tidak ada lagi suara yang terdengar di seberang.

“Halo... kamu masih di sana kan, Ryan?”

“Iya, aku masih di sini, Win. Aku sedang memikirkan perasaanku sendiri. Ya... apa aku benar-benar mencintainya, atau aku hanya sekadar senang menjadi temannya.”

“Yakinkan dirimu, Ryan. Oh iya, apa yang kamu rasakan ketika dekat dan bahkan ngobrol dengan Anggi?”

“Nyaman. Aku merasakan perasaan yang sangat nyaman. Rasanya aku ingin berlama-lama di sampingnya. Jujur, aku tidak pernah merasakan perasaan yang sama ketika berada di dekat perempuan lain. Ini benar-benar beda, Win.”

“Itu namanya jatuh cinta, Ryan.”

“Kalau begitu, apa menurutmu aku harus mengatakan perasaanku secara langsung sama dia?”

“Jika kamu berpikir itu yang terbaik, lakukanlah, kamu pasti tahu sendiri jawabannya. Kamu lelaki yang cerdas, Ryan.”

Ryan terdiam. Lama sekali. Ewin makin bingung jadinya. Dia sekali lagi bertanya, “Apa kamu masih di sana, Ryan?”

“Terima kasih, Win. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Doain aku ya!” kata Ryan setelah beberapa jenak menghilang lagi. Suaranya terdengar lega sekali.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang