Perempuan (Masih) Misterius

49 1 0
                                    

Angin berembus pelan di sekitar mereka, Fahmi dan perempuan bernama Dilla. Fahmi sedang membantu Dilla mengobati luka yang menggores lutut perempuan itu di ruang UKS. Awalnya, Dilla menolak karena luka di lututnya tidak teramat perih dan dia masih bisa menahan sakitnya, tapi setelah dibujuk Fahmi berkali-kali, perempuan itu melumer juga.

Dengan lembut Fahmi mengolesi lutut Dilla dengan obat merah. Ketika Fahmi mengolesi lututnya, lalu menempelkan plester luka bermerk hansaplast itu, mata Dilla enggan lepas ke arah Fahmi. Dia seolah terpaku dengan kejantanan lelaki itu.

“Selesai. Aku yakin kali ini lututmu akan baik-baik saja,” ucap Fahmi antusias.

“Terima kasih. Kau seperti dokter saja.”

Fahmi terkekeh. Dia angkat mukanya, dan mendapati wajah perempuan di hadapannya yang sedang melemparkan senyumnya yang paling manis. Fahmi kaku seketika. Dia hendak mengucapkan sesuatu, tapi lidahnya kembali kelu.

“Aku harus kembali ke kelas. Aku anak baru. Nanti dikira apa sama guru kalau telat masuk.” Dilla yang akhirnya berucap. Lalu berdiri, dan meninggalkan Fahmi.

Fahmi masih bertahan di posisinya, menyadari bahwa waktu benar-benar berhenti ketika senyum Dilla tertangkap olehnya.

Pulang sekolah, Fahmi menanti Dilla di gerbang sekolah. Dia ingin tahu di mana rumah perempuan itu. Kalau perlu, kalau perempuan itu ternyata tidak bareng siapa-siapa, dia yang akan mengantarnya pulang.

“Belum mau balik nih, Mi?” tanya Ryan. Dia memicingkan matanya ke arah Fahmi.

“Lu balik aja kalau buru-buru. Gue lagi nungguin seseorang.”

“Seseorang itu Dilla ya?” tebak Ewin, lantas tertawa meledek. “Kalau begitu, aku mau pulang saja. Biar Fahmi bermesraan dengan Dilla saja. Oh iya, kalau kamu serius, jalani dengan tulus, Fahmi, jangan dipermainkan. Perempuan punya hati yang bisa sakit, bukan robot-robotan yang bisa kamu mainkan setiap saat.”

Kalimat Ewin membuat mata Fahmi membulat. Dia memandang tajam ke arah Ewin. “Pegang kata-kata gue. Gue cowok, bukan banci. Gue gak bakalan mainin hati seorang perempuan... apalagi dia.”

“Kami percaya itu, Fahmi. Doa terbaik untukmu.” Ewin tersenyum. “Ryan, bagaimana denganmu? Mau pulang juga?”

Ryan mengangkat alisnya. Agak bingung harus menjawab apa. Dia sebenarnya ada janji dengan Angge. Dan karena masih agak risau kalau harus berduaan dengan seorang perempuan, dia butuh teman untuk menemaninya. “Hmhm, kamu ada keperluan serius tidak di rumah, Win?”

Kening Ewin mengerut. “Keperluan serius? Kalau serius sekali, tidak juga sih. Aku cuma mau jagain Ibu. Dia kan masih istirahat di rumah, jadi belum bisa keluar ke mana-mana. Tapi, sudah ada tanteku yang jagain. Memangnya kenapa, Ryan?”

“Kau mau temani aku, tidak?”

“Ke mana?”

“Ketemu Angge. Kamu kan teman kecilnya, jadi kamu akrab dong sama dia.”

Ewin mengangguk. Dia paham betul bagaimana sifat sahabatnya itu. Dia pun menyetujui ajakan Ryan untuk menemaninya ketemuan dengan Angge. Meskipun dia harus menjadi obat nyamuk nantinya. Lagi pula ibunya sudah ada yang jagain. Insya Allah, Ibu akan baik-baik saja.

“Baiklah. Ketemu di mana?”

“Green Cafe,” kata Ryan. Dia bersyukur sekali karena Ewin bisa memahaminya dengan baik. Kalau Ewin menolak, dia tidak tahu bakal jadinya apa saat ketemu Angge nanti. “Oh iya, kami pergi duluan ya, Mi. Semoga lancar ketemuannya sama Dilla.”

“Siap! Kamu juga ya.” Fahmi melambaikan tangannya ketika dua sahabatnya itu akhirnya berlalu.

Sepersekian menit setelah Ewin dan Ryan pergi, setelah Fahmi menunggu dengan begitu sabar, perempuan yang ditunggunya sedari tadi benar-benar datang. Perempuan itu berjalan sendirian, tampak buru-buru dengan langkahnya yang panjang-panjang. Fahmi yang melihatnya langsung bergegas mendekat.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang