Depresi

114 6 0
                                    

Benar kata Ryan, atau kata buku yang dibacanya, seseorang yang merasakan kehilangan yang teramat akan menimbulkan pula luka yang luar biasa. Ayu kini berada pada tahap depresi. Ewin jadi sedih harus melihat Ayu seperti itu. Untung saja, dia berhasil memasukkan beberapa suap makanan ke dalam mulutnya.

Sebab itulah, Ewin sering mendapat panggilan dari ibu Ayu yang sempat mengambil nomornya ketika dia pamit pulang tempo hari. Ewin diminta untuk rajin-rajin ke rumah Ayu dan menyuapinya karena Ayu masih enggan makan saat Ewin sudah beranjak pulang.

Ewin setuju-setuju saja. Ini bisa jadi kesempatan besar buatnya untuk mengisi kekosongan hati perempuan senja itu.

"Ayu benar-benar depresi, kawan," cerita Ewin kepada Ryan dan Fahmi di sekolah.

"Gawat dong!" cetus Ryan.

"Gawat kenapa, Ryan? Sebelum aku datang, dia tidak mau makan. Pandangannya selalu kosong. Tapi alhamdulillah, dia sudah makan ketika aku menyuapinya."

"Aku sudah memberitahumu, kan, Win?"

"Lu nggak usah dengerin kutu buku ini. Pokoknya lu hebat banget, Bro. Gue doain deh lu cepat jadian sama dia," dukung Fahmi.

"Ush, kau ini." Kesel, Ryan sontak menyikut pinggang Fahmi. Fahmi jadi cemberut. "Aku serius loh."

"Jangan setengah-setengah, Ryan! Maksud kamu apa sih?" Ewin bertambah bingung. Apa yang gawat dengan kedepresian Ayu dan keberhasilannya membuat Ayu mulai mau makan lagi?

"Saat ketenangan seperti inilah yang paling bahaya bagi penderita depresi. Sekali dia mengingat kembali luka lama, dia akan bertambah kacau dan imbasnya bisa bunuh diri," jelas Ryan. Suaranya dingin seakan-akan sedang menceritakan kisah horor. Ewin dan Fahmi saling bersitatap. Jantung mereka berdegup kencang.

"Kamu harus menjaga Ayu, Win, dan memastikan dia tidak melakukan perbuatan gila itu!" Ryan mengingatkan.

Ewin tidak menyangka ucapan Ryan membuatnya malah bergidik. Jangan sampai Ayu benar-benar melakukan tindakan nekad, bunuh diri. Itu bisa terjadi. Di sisi lain, Ewin berusaha berpikir positif. Ayu punya iman yang kuat, semoga saja, dia pasti bisa membetengi dirinya.

"Ibu Ayu terus memintaku ke rumahnya soalnya Ayu tidak mau makan kalau bukan aku yang nyuapin, katanya, ya aku terima saja" kata Ewin. Bangga sekaligus takut. Bangga karena dia bisa membuat Ayu makan. Takut karena siapa yang tahu kalau Ayu bunuh diri di belakangnya.

Mendengar itu, Fahmi meninju bahu Ewin. "Lu hebat banget sih, Bro. Gue yang cakep aja belum tentu bisa kek gitu."

"Apaan sih, Fahmi."

Mereka serempak tertawa.

Matahari sudah condong ke barat ketika para siswa berhamburan pulang. Seperti biasa, Ewin segera menelepon Papa untuk minta izin ke rumah Ayu. Sial baginya, nomor Papa tidak aktif juga meskipun beberapa kali Ewin sudah meneleponnya.

Ewin pun memutuskan untuk mengirimkan Papa pesan singkat, Ewin mau minta izin lagi, Pa, soalnya teman Ewin masih sakit. Kirimnya. Semoga Papa masih memahami kondisinya, seperti yang Papa lakukan sebelum-sebelumnya ketika Ewin memohon agar diberikan izin menjenguk Ayu. Apalagi ini bukan sekali saja, tapi sudah berkali-kali. Ayu memang sudah hampir sebulan tak masuk sekolah dan Ewin-lah yang senantiasa datang menyuapinya. Tidak ada yang lebih indah selain melihat yang terkasih mulai menikmati kembali hidupnya, walaupun sebatas memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.

Dengan sekuter, Ewin menuju ke rumah Ayu. Sebelum itu, dia singgah ke pasar buah. Dia ingin membeli apel untuk perempuan senja itu. Ewin masih ingat kata Ryan, buah apel memiliki kandungan nutrisi dan vitamin yang mampu menjadi antidepresen alami bagi tubuh sehingga membuat pikiran orang yang memakannya menjadi tenang, bahagia, dan nyaman. Tentu saja, Ayu sangat butuh itu.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang