Menanti Jawaban

80 2 0
                                    

Matahari semakin terik saja. Tidak ada tanda-tanda langit akan menghitam. Peluh yang mengucur dari tengkuk kian menderas jadinya. Tapi rasa penasaran yang terus membuncah di dada Ewin mengabaikan semua itu. Dia harus menemui Ayu. Mendengar maksud perempuan senja itu mengenai ucapannya di kantin sekolah tadi pagi.

Bantu aku move on! Gila. Ini maksudnya apa coba?

“Aku mau ke rumah Ayu,” tegas Ewin. Pandangannya lurus ke depan, seolah-olah dia sedang menatap bayang-bayang masa depannya.

“Bagus, Win. Gue dukung lu sampai titik darah penghabisan,” telak Fahmi, yang langsung mengundang tawa kedua sahabatnya.

“Ah, kau, Fahmi. Ewin kayak mau pergi perang saja.” Ryan meninju bahu Fahmi sehingga lelaki itu mengiris sakit.

“Sudahlah. Aku harus pergi sekarang. Jangan sampai kemalaman dan dapat omelan dari Bapak lagi.” Ewin pun meninggalkan kedua sahabatnya itu disertai dengan lambaian tangan seakan-akan mereka hendak berpisah sekian lama.

***

Jarak rumah Ayu dari sekolah yang seperti jalur Jakarta-Bogor ditempuh Ewin dengan waktu yang singkat. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan hampir 100 Km/jam. Angin yang berembus kencang membuat wajahnya agak sedikit jelek. Agak sedikit. Sial. Kenapa kaca helmku bisa rusak sih? Batinnya.

Setibanya dia di rumah Ayu, perempuan yang dia cari-cari ternyata tidak sedang di rumah. Kata Nenek, dia pergi ke Gramedia Book Store. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi sebentar-lamanya itu yang sulit dipastikan.

“Saya tunggu di luar saja, Nek,” kata Ewin. Dia tersenyum pasrah.

“Kenapa tidak tunggu di dalam saja, Nak.”

“Tidak perlu, Nek.”

Ewin pun duduk di kursi yang berada di teras rumah Ayu, memandangi hijau pekarangan yang diisi beberapa bunga. Pekarangan rumah Ayu memang sangat asri dan cukup luas. Ada juga pohon mangga yang berdiri menjulang yang sudah diisi beberapa bunga, sepertinya siap berbuah.

Beberapa menit setelahnya, nenek Ayu datang dengan membawa nampan yang sudah diletakkan secangkir teh dan sepiring pisang goreng. Perempuan tua itu meletakkan nampan ke meja seraya tersenyum. “Silakan, Nak Ewin!”

“Kok repot-repot sih, Nek.”

“Tidak masalah, Nak." Nenek Ayu kemudian duduk di kursi yang satunya. “Bagaimana kabar, Nak Ewin?”

“Alhamdulillah. Oh iya, sudah berapa lama Ayu berangkat ke toko buku, Nek?”

“Pas pulang sekolah, Nak. Nak Ayu bahkan tidak pulang ke rumah, dia langsung ke sana. Dia cuma telepon kalau bakal pulang terlambat karena harus ke toko buku dulu.” Nenek menjelaskan panjang lebar, dan Ewin mendengarnya khidmat.

“Ayu suka baca juga ya, Nek?” Ewin menatap mata nenek Ayu yang sayu. Dan perempuan itu tidak langsung menjawab. Dia mendesah terlebih dulu. Setelah dirasa cukup, bibirnya mulai perlahan bergerak.

“Mungkin. Soalnya setiap pulang sekolah, ketika sendirian di kamar, Nenek sering lihat Nak Ayu baca buku. Kalau Nak Ewin? Suka baca?”

Ewin nyengir. “Tidak terlalu sih, Nek. Saya mah tidak punya bakat apa-apa, Nek.”

Nenek Ayu tertawa. “Ah, jangan bilang begitu, Nak! Setiap orang dilahirkan dengan bakat masing-masing. Mungkin, Nak Ewin belum menemukannya. Atau sudah, tapi belum mengembangkannya.”

Udara tiba-tiba datang begitu sejuk. Angin berembus sepoi-sepoi. Meskipun panas yang kian terik belum juga beranjak.

“Nak Ewin suka lakuin apa?” Nenek melanjutkan dengan sebuah pertanyaan.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang