Perempuan Misterius

57 2 0
                                    

Seperti biasa di jam istirahat, Ewin dan dua sohibnya sudah mematut diri di kantin. Mereka tengah menyantap mie rebus yang dicampur dengan telur rebus juga. Bagi mereka, mie rebus campur telur merupakan kenikmatan yang hakiki.

Saat seperti itu, mangkuk Fahmi yang paling merah sebagai seorang lelaki pecinta cabai, sementara mangkuk Ryan yang hitam pekat karena kebanyakan kecap. Dan mangkuk Ewin bisa dibilang imbang, perpaduan merah dan hitam. Dia menaruh kecap dan cabai dengan tuangan yang sama.

Ketika Ewin menghirup kuah mienya, Ryan kemudian bersuara, "Bagaimana kabar Ibu, Win?"

Ewin menghentikan hirupannya, mendesah sebentar, menatap Ryan, lalu tersenyum manis. "Alhamdulillah. Kondisinya makin baik."

Setelah beberapa menit kedatangan Ayu di rumah sakit kala itu, menjenguk ibu Ewin, dokter langsung mengabarkan kalau Ibu sudah bisa dipulangkan. Ewin dan Bapak, dibantu Ayu, ibunya, dan Tante Yana kemudian membereskan barang-barang Ibu.

"Ikut ke mobilku saja. Biar kami yang antar," tawar ibu Ayu ramah. Suaranya sehalus hatinya yang lembut. Untung dia pintar nyetir, dan bawa mobil, sehingga Ewin punya tumpangan untuk ibunya.

"Iya, Win. Bareng kami saja. Senang rasanya bisa membantu," timpal Ayu.

"Wah, beneran nih?" kata Bapak. "Terima kasih banyak loh. Kami jadi merepotkan."

"Tidak kok. Selama ini kan Ewin sudah banyak membantu Ayu."

Kalimat ibu Ayu langsung membuat pandangan Bapak terutuju ke arah Ewin. Yang dipandang pun jadi planga-plongo. Bingung dengan maksud pandangan Bapak.

"Anak Bapak yang satu ini benar-benar baik," tambah ibu Ayu. Leher Ewin makin naik sesenti. Dia seolah ingin terbang sehabis dipuji 'calon mertua'.

Hari itu ibu Ewin pun balik ke rumah dengan menumpangi mobil ibu Ayu. Di dalam mobil, mereka banyak bercanda. Dan candaan yang ada kebanyakan mengarah ke hubungan Ewin dan Ayu. Para orang tua rasa ABG itu jadi kepo sendiri.

"Kalian beneran pacaran?" Ibu Ewin bertanya lagi. Ewin dan Ayu kian dibuatnya salah tingkat. "Semoga tidaklah." Kalimat Ibu Ewin selanjutnya malah membuat kedua calon sejoli itu memelotot. Mereka tidak direstui? Pikir mereka. Tapi pada detik berikutnya Ibu memberikan klarifikasi, "Kalian sekolah yang bener dulu. Pacaran yang indah itu setelah menikah. Bener kan, Pak?"

Bapak Ewin segera mengangguk-angguk. Hidungnya kempas-kempis. Pipinya memerah. Membenarkan ucapan istrinya. Sontak mereka semua tertawa nyaring.

Sesampainya di rumah, bapak dan Ibu Ewin tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati ibu Ayu. Mereka merasa beruntung sekali bisa kenal Ayu dan keluarganya. Sayangnya, saat bapak dan Ibu Ewin hendak menyiapkan kudapan untuk Ayu dan ibunya, kedua orang itu malah buru-buru pamit. Mereka memang selalu sibuk. Super sibuk.

Fahmi membulatkan matanya, lalu bertanya, "Kalau Ayu, bagaimana? Kalian sudah jadian kan?"

"Ah, kamu. Gak ada basa-basinya amat sih," keluh Ewin. Dia langsung menggetok kepala Fahmi dengan sendok di tangannya. Lelaki itu langsung meringis dan minta maaf. "Kalau Ayu sih alhamdulillah, sudah baikan. Semoga seterusnya seperti itu."

"Amin," kompak Ryan dan Fahmi.

"Gue mau nanya. Boleh kan, Win?" ucap Fahmi pelan-pelan. Dia takut digetok lagi.

"Lah, itu kau sudah nanya." Ewin hendak menggetok Fahmi lagi, tapi diurungkan setelah melihat Fahmi memasang muka jelek bertahan, muka jelek yang sebenarnya masuk level tampan untuk Ewin. "Buruan! Mau nanya apa?"

"Lu masih ingat sepucuk senja itu, kan, Win? Kapan lu mau kasih sih sama Ayu?"

"Nunggu momen," jawab Ewin singkat.

Sepucuk Senja untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang