Jumat pagi yang berawan, Aksel sedang sibuk menyantap sarapan yang telah tersedia di meja makan. Sangking lahapnya, Aksel sampai tak menyadari kalau kini kedua orang tuanya sudah ikut bergabung di ruang makan.
"Lahap sekali Sel." Ucap mama pada putra semata wayangnya.
"Eh... ma, selamat pagi. Pagi juga pa." balas Aksel yang baru sadar akan kehadiran kedua orang tuanya.
"Bagaimana ujian terakhir kamu Sel? Lancar mengerjakannya?" tanya papa sambil melapisi roti tawarnya dengan selai kacang.
"Puji syukur lancar pa, meskipun ada soal yang gak bisa Aksel kerjain. Tapi Aksel yakin, nilai Aksel pasti bagus. Jadi papa sama mama tenang aja."
"Kapan kira-kira hasilnya keluar? Lalu kapan acara kelulusan kamu diselenggarakan?" kini mama ikut bertanya.
"Hasil sudah bisa didapat satu minggu setelah libur kelulusan, dan acara kelulusannya ya sehari setelah hasil didapat." Jelas Aksel sebisanya.
"Papa sama mama datang kan ke acara kelulusan Aksel?" tanya Aksel menyelidik. Tapi tak ada jawaban, baik dari mama maupun papa. Padahal Aksel sangat ingin mendengar jawaban dari keduanya.
"Papa sama mama gak akan datang." Ucap Aksel lagi dengan nada yang sengaja ditekan.
"Papa sama mama lusa akan berangkat ke Amsterdam untuk memeriksa bisnis papa disana, kemungkinan akan kembali satu bulan kemudian." Jelas mama dengan nada datar, berharap putranya itu bisa mengerti.
"Bahkan bisnis itu lebih penting dari aku ya ma? Bahkan lebih penting dari Aluna! Lebih penting dari anak-anak mama dan papa sendiri!" ucap Aksel ketus.
"AKSEL JAGA BICARA KAMU! LIHAT KAMU SEDANG BICARA DENGAN SIAPA? MAMA KAMU!" Tiba-tiba papa meledak begitu saja.
"Apa saat kalian menjelaskan pentingnya bisnis kalian itu, mama sama papa ada mikirin perasaan Aksel? Aksel yakin jawabannya gak sama sekali! Mana ada orang tua yang lebih mementingkan bisnisnya dibanding hari kelulusan anaknya! Mana ada orang tua yang menggunakan bisnis sebagai alasan untuk tidak pernah pergi ke makam anaknya sendiri." Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Aksel. Semua kata-kata itu mengalir bak sungai yang deras arusnya. Pelan tapi menghanyutkan, pelan tapi menyakitkan. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut putranya, rasanya bohong jika sang mama tidak menangis. Meski tanpa suara, Aksel tahu kata-katanya barusan sudah menyakiti perasaan mama. Aksel benar-benar mengutuk dirinya sendiri, karena bisa-bisanya dia menyakiti perasaan mama. Tapi meskipun ada perasaan merasa bersalah, ada perasaan puas juga dalam diri Aksel. Puas karena hal yang selama ini ingin dirinya sampaikan pada kedua orang tuanya akhirnya terucapkan, meskipun dengan cara yang salah.
"Tidak seharunya kamu berkata begitu Aksel. Kamu tidak mengerti bagaimana perasaan papa dan mama sebenarnya, kamu tidak tahu betapa menderita dan terlukanya kami karena kepergian Aluna saat itu." papa membuka suara dalam keadaan yang begitu tegang itu.
"Apa papa dan mama pikir aku tidak? Aku juga pa, ma! Aku ngerasain apa yang kalian rasain! Tapi bukan karena itu, papa dan mama berusaha menenggelamkan diri dalam sibuknya pekerjaan."
"Dari awal aku memang tidak berharap banyak kalian bisa datang ke acara kelulusanku, karena aku tahu pasti alasan bisnis menjadi tameng kalian nantinya. Tapi paling tidak ma, pa, kali ini saja Aksel mohon. Sebelum kalian berangkat ke Amsterdam, sempatkan untuk datang ke pemakaman Aluna. Aku yakin Aluna sangat merindukan kalian, begitu juga sebaliknya. Anggap saja kedatangan mama dan papa adalah hadiah kelulusan untukku." Aksel bicara dengan nada yang jelas terdengar memohon.
"Ya sudah, Aksel mau berangkat sekolah dulu. Aksel pergi pa, ma." Pamit Aksel tanpa basa-basi. Papa dan mama hanya bisa terdiam sambil terus memperhatikan putra mereka satu-satunya yang semakin jauh dari pandangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
YIN & YANG
RomanceBasket, olahraga yang paling Aksel tidak suka. tapi karena ini menyangkut masalah nilai, mau tidak mau Aksel harus ikut. "Gue jadian sama Amora." ucap Aksel saat berhadapan dengan Daren di latihan basket siang itu. "Gue tahu itu." jawab Daren ketus...