"Tapi kenapa tidak dari awal dibicarakan dengan levy?" Tanya Levy terlihat gusar. Bahkan, luka di belakang kepalanya masih terasa nyeri.
"Ayah kira kamu akan setuju. Lagi pula, dia teman masa kecil kamu. Dia baik!" Ucap Bagas ayahnya Levy.
Setelah pulang dari rumah Killa, Aisyah bunda Levy, sangat khawatir melihat keadaan Levy yang waktu itu kepalanya dibalut perban.
Levy beralibi bahwa ia jatuh dari atas motor. Padahal ia kena pukul balok kayu.
Besoknya, Levy tidak masuk sekolah karena kepalanya terasa pusing. Iapun menghabiskan waktunya dirumah bersama games kesayangannya.
Urusan game aja gak pusing.
Malam hari telah tiba, Levy duduk di depan monitor dengan wajah yang terlihat fokus. Tiba-tiba sang ayah masuk dan menyuruhnya untuk ke ruang keluarga. Katanya ada yang perlu di bicarakan.
"Levy tau Marsya baik. Tapi, Levy gak cinta sama Marsya. Levy hanya menganggap Marsya sebagai sahabat." Ujar Levy yang berusaha menahan emosi yang sudah terkumpul di puncak kepalanya.
"Cinta? Kamu hanya perlu menerima Marsya. Perlahan-lahan rasa cinta itu akan mengikuti dengan sendirinya." Bagas berusaha menyakinkan Levy.
Levy bungkam. Ia tidak mengerti situasi apa yang dihadapinya saat ini.
Aisyah yang mengerti perasaan anaknya itupun tak mampu berbuat apa-apa.
"Hanya kamu anak ayah satu-satunya. Ayah mohon kabulkan permintaan ayah. Bertunangan lah dengan Marsya" Ujar Bagas dengan suara merendah.
Levy diam seribu bahasa. Hal ini lah yang ia benci. Kelemahan dirinya yang terletak sebagai anak tunggal dan penerus perusahaan. Ia benci sangat benci hal yang berkaitkan dengan perusahaan dan perjodohan sebagai peningkatan saham.
Sungguh ia ingin segera pergi dari hadapan ayahnya dan menyalurkan emosi yang ia bendung saat ini.
Levy menghembuskan nafas kasar. Ia memejamkan matanya selama 5 detik.
"Baik ayah, Levy akan turuti apa yang ayah mau." Levy berucap dengan tak dari hati.
Setelah mengatakan itu, Levy menuju ke kamarnya. Ia berjalan ke arah balkon dan meninju keras ubin sampai tangannya merah.
"Sial."
***
Setelah sekian lama, aku mendapatkan mentari ku lagi. Hari-hari yang membuatku terasa lebih hangat. Tentang pertemuanku dengannya merupakan sesuatu yang bisa dibilang klise. Mulai dari tatapan selama dua detik, dihukum bersama, terjebak hujan dan menginap dirumahnya. Bertemu dengan bunda yang membuatku rinduku merasa berkurang kepada sosok Mamaku. Pulang pergi diantar jemput dan dihadiahi tatapan benci dan iri dari para siswa.
Sungguh sudah lama aku tak merasakan hal ini. Hal yang membuatku merasakan darah berdesir ketika didekatnya, jantung berdegup dua kali lipat lebih kencang dari biasanya, dan sering kali dadaku merasa sesak ketika didekatnya. Tingkah konyol bin ajaibnya selalu membuat aku tertawa. Oh ya, entah kenapa aku suka menyebutnya monyet. Anggaplah panggilan kesayangan, itu lebih baik bukan.
Tapi, Sesaklah saat ini kurasaan. Mungkin waktu itu sesak karena hal dia buat membuatku kehilangan nafas karena tindakan manisnya. Namun sekarang, menatap matanya selama dua detik saja membuat ku sesak. Sangat-sangat sesak. Seperti seluruh organ dalamku dihujam oleh ribuan benda tajam. Padahal, dulu hal yang paling membuatku merasa nyaman adalah ketika melihat iris mata coklatnya.
Lagi, hal yang paling manis dan indah adalah ketika dia menyatakan perasaannya dengan menatap kedua bola mataku intens. Dia juga mengatakan akan selalu menjagaku dan melindungiku. Sampai aku tak bisa tidur dengan nyenyak karena ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweet Side
Teen FictionIbarat eskrim, dia dingin, tapi manis. Dan.. aku suka. Suka eskrim maksudnya. Start : 11 jan 2018