Chapter One : Masa Remaja

489 10 0
                                    

USTADZKU

Tap... tap... tap..!!

Suara langkah sepatu itu terdengar sangat cepat, hampir tak ada jeda waktu untuk bernafas bagi sang pemilik kaki jenjang itu. Meski berlari, namun sepatu warna hitam mengkilat yang dikenakannya nampak lekat di telapak kakinya. Sesekali jilbab seragam sekolah yang ia kenakan dibenahi tatanannya, sambil terus menambah kecepatan larinya. Tas yang ia bawa terpaksa harus dijinjing untuk mempermudah lari dan geraknya. Hingga sebuah gerbang kokohlah yang menghentikan laju lari cewek berusia empat belas tahun itu.

"Lia tumben telat?" Pak Jono, satpam yang selalu stand by di pintu gerbang tetap menyapanya dengan ramah meski ia melihat seorang siswi yang terlambat lebih dari lima menit itu.

"Iya nih Pak, (ngos-ngosan)... ibu nggak bisa nganter, bapak lagi keluar kota... Pak Udin lagi sakit, jadi jalan kaki deh...," jawab Aulia, gadis itu.

"Lha apa nggak naik angkot?" tanya Pak Jono sambil membuka gerbang yang sudah digembok itu.

"Uh, udah tak tunggu hampir setengah jam nggak lewat-lewat juga pak... ya udah mending lari aja...".

"Liat tuh mbak, Ustadzah Rini udah melotot dari tadi di depan ruang guru..."

"Mati aku...," gumam Aulia.

Aulia melangkahkan kakinya dengan lemas. Ia tahu, Bu Rini siap menginterogasinya karena terlambat lebih dari lima menit. Sekali lagi ia membenahi kerudungnya, tali sepatunya yang lepas juga ia benahi satu per satu.

Ia sedikit memberanikan diri melirik ke arah Ustadzah Rini yang tak sedetikpun melepaskan pandangannya ke arahnya.

"Aulia, kenapa kamu terlambat? Masa' ketua OSIS terlambat??" tanya Bu Rini tegas.

Aulia mencoba menata kata-kata dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan Ustadzahnya itu. Yah, sebenarnya Ustadzah maupun Ustadz di sini tidak ada yang tergolong galak atau keras, hanya saja jika sudah menyangkut kedisiplinan seperti ini, para Ustadz dan Ustadzah tadi perlu bersikap tegas untuk memberi efek jera kepada para santri atau murid-muridnya.

"Sa, saya...," jawab Aulia terbata-bata.

"Dia terlambat karena tak dapat angkot, Ustadzah..."

Eh, siapa itu? Suara yang tak asing bagiku, tiba-tiba nyerobot ikut menjawab? Tapi untunglah kalo begitu, berarti ada yang mendukungku, pikir Lia.

"Ustadz Guntur?" tanya Aulia dalam hati dengan kaget.

Ia tak menyangka bahwa Ustadz Guntur-lah yang baru saja membelanya di depan Ustadzah Rini, sebab seingat dia Ustadz Guntur itu termasuk orang yang cuek, tak banyak bicara, dan terkesan kalem bahkan cenderung pemalu.

Dia tiba-tiba teringat sepintas saat liburan naik kelas delapan kemarin, dia bersama sohib kentalnya, Citra, waktu itu naik sepeda motor berboncengan hendak pergi ke sebuah mal. Berbeda dengan saat di sekolah, waktu itu mereka berdua mengenakan pakaian tanpa memakai jilbab alias kerudung. Celana jeans pensil, jaket yang ukurannya pas-pasan, dan rambut panjang mereka terlihat terurai lurus di bawah helm yang mereka kenakan. Yah, memang nampak jelas kini karakter mereka sesungguhnya, berbeda jauh jika dibandingkan saat harus mengenakan seragam OSIS dan jilbab waktu sekolah.

Saat melintasi di jalan protokol, mereka berdua yakin benar kalo cowok yang naik motor tepat di depan mereka itu adalah Ustadz Guntur. Dilihat dari motor bebeknya, postur tubuhnya, bahkan helm warna merahnya, mereka berdua sangat kenal dan yakin kalo dia adalah Ustadz Guntur Wijaya. Meski sempat ragu apakah akan menyalip atau tidak,tapi rasa ingin cepat-cepat sampai tujuan ditambah sedikit rasa penasaran membuat Aulia yang saat itu bertindak sebagai sopir langsung menarik gasnya dalam-dalam. Ketika motor mereka melintas melewati motor Ustadz Guntur, secara serentak mereka berdua menyapa dengan senyum lebar, "Assalamu'alaikum, Ustadz...."

Pelangi di BritaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang