SATU HARI DUA MOMEN
SMP dan SMA Al Islam sudah riuh rendah sejak pagi. Bahkan, para panitia seperti Aulia, Ardian, Ustadz Guntur, dll malah sejak pukul enam sudah stand by di sekolah. Mereka nampaknya benar-benar mempersiapkan event ini dengan sungguh-sungguh. Setidaknya di detik-detik akhir acara.
Hari itu tak ada kegiatan belajar mengajar, khususnya di SMP Al Islam, karena memang hari pertama pembukaan dilaksanakan di SMP, sedangkan hari kedua besok dilaksanakan di SMA. Semua difokuskan untuk memeriahkan perhelatan akbar yang digelar tiap tahunnya di SMP-SMA Al Islam itu. Aulia dan rekan-rekannya dari SMP Al Islam nampak bersemangat, agaknya sindiran Ustadz Guntur beberapa waktu lalu cukup memicu rekan-rekan Lia yang semula ogah-ogahan menjadi mati- matian mengerjakan amanahnya.
Ustadz Guntur memberikan sambutan, disaksikan oleh seluruh peserta yang hadir, termasuk guru-guru pendamping para peserta.Suaranya membahana ke sekeliling arena acara, hal itu juga tak lain karena sound sistem milik Mas Kenthung yang sudah teruji kedahsyatannya. Bahasa yang digunakan tak seperti sambutan-sambutan biasanya yang bertele-tele, namun lebih terkesan lugas, dan langsung to the point, meski tak meninggalkan aspek-aspek kesopanan dan etika berpidato yang baik. Bukannya melebih-lebihkan, para guru pendamping ada beberapa yang masih gadis, dan merasa terpesona dengan 'penampilan' Ustadz Guntur. Dan tentu saja, sang pengagum sejati, Aulia, pun ikut larut dalam keterpanaan itu. Bahkan ia rela menghentikan sejenak pekerjaannya hanya demi menyaksikan sambutan sang Ustadz.
"Heh! Dicariin tuh ma cowokku...! Malah ngliatin Ustadz Guntur terus," Citra tiba-tiba datang dan membuyarkan 'pengamatan' Lia terhadap Ustadz Guntur tadi.
"Oh, eh... I-iya, Cit... Emang dimana Mas Ardi sekarang?" tanya Lia terbata-bata.
"Di lomba kaligrafi tuh, super penting katanya kamu disuruh kesana sekarang!"
"Iya, aku kesana sekarang..."
"Lagian apa hebatnya Ustadz Guntur sih kok kamu demen banget kayaknya..."
"Ah, cuma aku sama Allah aja yang tau!," jawab Lia sambil bergegas pergi.
"Uuh, pelit amat," balas Citra.
Lia lalu bergegas menuju ke lokasi Ardian seperti yang dikatakan Citra, ia nampak buru-buru khawatir ada masalah yang terjadi di lomba kaligrafi. Dengan wajah pucat ia terus mempercepat langkahnya, memang tempat lomba kaligrafi agak jauh, di ruang kelas IX.B, di lantai dua pojok utara.
"Mas Ardi dimana?" tanya Aulia pada Toni, panitia dari SMA yang juga teman Ardian. "Tuh, di dalam, nyari kamu dari tadi," jawab Toni.
Benar, ternyata di dalam ruangan lomba kaligrafi itu ada Ardi. Namun hanya ada Ardi, karena para peserta masih berada di bawah di dekat panggung mengikuti pembukaan. Sementara panitia kaligrafi berada di luar ruangan semua.
"Gimana, Mas? Ada masalah ya? Maaf aku tadi ikut pembukaan dulu," ujar Lia tergopoh- gopoh.
"Gak apa-apa, Lia... Gak ada masalah juga kok," sahut Ardian tenang. Tak ada raut wajah tegang sedikit pun, hal itu seperti menyiratkan bahwa memang tak ada masalah pada lomba kaligrafi seperti yang dikhawatirkan Lia semula.
"Lha terus kenapa aku dipanggil kesini?" tanya Aulia heran.
"Sini aku bilangin..."
Lia melaju dua langkah mendekat pada Ardi.
"Aku cuma mau ngasih ini sama kamu"
Ardian mengeluarkan sebuah pigura kecil dari arah belakang punggungnya, dan lantas menyodorkannya pada Lia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Britania
Teen FictionYa Allah, mengapa pesona Ustadz Guntur makin tak terbendung lagi? Apa kelemahan dia supaya aku tak tergila-gila seperti ini? Terlebih lagi, masa' cinta pertamaku itu Ustadzku sendiri yang umurnya sebelas tahun diatasku? Tapi memang, semakin dilihat...