1.1 The Wombats - Turn

153 9 0
                                    

Seperti asap yang takluk pada angin. Seperti matahari yang selalu patuh pada janjinya untuk kembali. Setiap kecerdasan pasti membuatku menoleh ke belakang, tidak peduli sejauh apa aku sudah berjalan, tidak peduli segaduh apa yang ada di kiri kanan. Aku selalu terpesona.

Di sahaja siang bulan Februari, aku terjebak dengan seorang rekan yang mulutnya seperti dikunci, lalu kuncinya dibuang ke hutan. Kekakuan dia ciptakan hampir mengalahkan gerakan pasien Parkinson waktu lagi jalan. Kedinginannya hampir mengalahkan makan es krim waktu lagi hujan. Aku mengetuk-ngetuk supaya diam bisa pecah, tapi seperti kaca pesawat, untukku diam itu terlalu kuat.

Aku berterima kasih kepada langit yang sudah membiru dengan cantiknya, kepada awan yang melayang entah kemana meninggalkan hamparan hijau lapangan bola mencium biru langit dengan leluasa. Aku berterima kasih dengan kewajibanku untuk membawa kamera, karenanya aku tidak terbunuh hening karena terjebak hanya berdua dengan laki-laki yang hatinya dingin dan kaku itu. Sekali dua kali aku memotret anjing yang lari-lari ke tengah lapangan. Lalu, tanpa beranjak terlalu jauh dari tribun aku memotret rekan bisuku yang sedang melamun. Entah apa yang ada di pikiran itu, mungkin dia tidak punya makan malam, mungkin dia kehabisan celana dalam, atau mungkin dia sedang mengalami bangkitan absens. Aku pun tidak paham.

Laki-laki itu menoleh, pandangan kami bersinggungan melalui lensa kamera. Alisnya mengerut, silau, menantang cahaya matahari. Lalu, dia membuka suara.

"Lo foto gue?"

Aku mengangguk, lalu kembali duduk di sampingnya. Melihat-lihat hasil jepretan baru, dari anjing yang lagi lari sampai laki-laki dingin di sebelahku itu.

"Bagus," katanya lagi.

"Thanks?" Aku menoleh ke arahnya. "Pinjem dong," kataku sambil menunjuk kamera yang dia istirahatkan di kursi sebelah kiri. "Pengen lihat hasil foto-foto lo. Pasti bagus."

Lalu dia menyerahkan kameranya. Aku penasaran, apakah mulutnya lagi masam karena sejak pagi tidak menghisap asap atau malah lagi bau karena puasa. Kata-katanya irit seperti lagi nabung untuk bayar kredit.

"Diam-diam potretan lo banyak juga."

"Ya, motret kan gak pake mulut," cetusnya.

Jawabannya yang makin lama makin mendingin membuat aku berhenti memainkan kamera dan beralih menoleh ke arahnya. "Lo selalu dateng setiap dikasih tugas yang artinya lo suka dengan pekerjaan ini, potretan lo hari ini bagus berarti mood lo lagi bagus, gue liat lo banyak temen, kalo lagi ngumpul group juga lo sering becanda, lo termasuk orang yang supel," aku tidak tahan lagi untuk tidak bertanya, "kenapa ya kalo sama gue lo sediem itu? Benci?"

Dia tertegun sedikit lama. Pandangannya menyisir stadion itu dan berhenti di arah yang berlawanan dari mataku. Dia menghindar. "Ngga. Biasa aja."

"Yah, kita udah sama-sama dewasa. Kalo suka bilang suka, kalo benci bilang benci. Hidup ini gampang. Kalo lo gak nyaman partneran sama gue, lo selalu bisa minta switch dengan Cica," kataku sambil menggigit bibir.

"Jangan terlalu judgemental lah, Ra. Gue ga suka. Beneran biasa aja kok."

Bingung ingin membalas apa, aku jadi ikut terdiam. Temperatur dengan mudah tersinkron. Hatiku jadi ikutan dingin. Aku tidak seharusnya sejauh itu menginvasi privasinya. "Pulang aja, yuk. Kayanya cukup untuk sore ini."

"Silahkan," dia menyambut kamera miliknya yang dari tadi beristirahat di pangkuanku. "Gue masih mau di sini. Cuacanya lagi enak."

Aku pikir aku terlalu cepat menafsirkan emosinya. Paras orang ini benar-benar tidak menggambarkan isi hatinya. Aku nampaknya sudah salah sangka.

"Okay. Sampai ketemu besok," salamku sambil menatap wajahnya dari samping. Laki-laki itu alisnya berkerut, memandang jauh tribun utara yang kosong tidak berpenghuni. Sore itu aku tidak bisa menerka apa yang ada dipikirannya, tetapi aku juga tidak bisa menghentikan hasrat untuk tahu. Reno mengeluarkan iPod yang ada di saku tas kameranya, memasang headset, dan aku melanjutkan langkahku menjauhinya.

Word SaladsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang