Outro

70 6 0
                                    

Manusia menulis karena dua hal; jatuh cinta atau duka. Seperti kata Tolstoy, semua bahagia itu sama, tapi penderitaan selalu menyakitkan dengan caranya yang berbeda-beda. Derita selalu menarik untuk diabadikan dalam tulisan, selalu menggoda untuk dibuang dalam literasi. Jatuh cinta ataupun duka, keduanya sama-sama bagian dari derita.

Saya tidak tahu apa tujuan saya, apa mau saya, tapi setiap hari hampir berakhir saya selalu tahu saya tidak punya hak untuk memohon untuk dicintai, untuk meminta seseorang rela terkena derita hanya karena saya. Bukankah jatuh cinta adalah sebuah pengorbanan? Apa yang pantas membuat seseorang merasa wajar untuk menerima sebuah pengorbanan? Apakah salah kalau saaya bilang dicintai adalah keinginan yang terlalu egois?

Saya juga tidak tahu mengapa manusia dihidupkan di antara lautan lara. Mengapa manusia diciptakan bila setiap sisi di dunia dipenuhi duka? Apakah memang kita semua ditakdirkan agar lahir untuk terluka?

 Setiap kali saya berpapasan dengan seseorang --yang tidak bisa saya sebutkan siapa, saya selalu berpikir ulang apakah seegois itu kalau saya berharap untuk merasa nyaman sedikit lebih lama? Setiap kali bahagia singgah, saya berpikir ulang, apakah saya terlalu memikirkan diri sendiri kalau saya menyantap suka sendirian sementara milyaran jiwa lain hanya menyesap sisa-sisa lara?

Entah sejak kapan, mungkin sejak usia ke empat belas silam, saya merasa bahwa tanya terus bereplikasi menenggelamkan satu dua jawab yang nampak tak ada apa-apanya. Ada banyak hal yang tidak saya mengerti. Mungkin kamu mengerti dan bisa berbagi. Mungkin besok lusa bumi menyuguhkan kepada saya kejutan lain pada permainan hidup ini dan membuat saya mengerti. Untuk sementara, biar saya tutup seri ini dengan sebuah pertanyaan lagi, 'Apakah memang benar kebahagiaan sebenarnya hanya sebuah ilusi?'


Word SaladsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang