1.2 Payung Teduh - Mari Bercerita

107 6 0
                                    

author's note: 

maaf untuk keterlambatannya. there were so much things happened in my life for the past week, i couldn't help myself to catch up on wattpad. i've written all the parts, honestly, but i need time to make sure every part isn't premature, to make sure it's well served. and i couldn't found that right time for the last week. so pardon me for the late update and here you go, it is well served now. hope you enjoy it.

Tidak banyak orang berani memilih kata-kata saat berbicara. Aku salah satunya. Aku selalu memikirkan dengan jeli cara mengalihbahasakan apa yang ada di otakku menjadi kata-kata awam karena aku takut. Aku takut menjadi berbeda. Sedangkan kamu, kamu berani untuk berbeda. Seakan-akan rasa takutmu tidak diciptakan untuk peka dengan manusia lain. Kamu hidup untuk dirimu sendiri, begitu ujarmu suatu hari. Untukku tidak begitu, justru kamu sudah memasang banyak senyum dan warna-warni di hidup lain dengan menghidupi dirimu dengan caramu yang berbeda.

Pemilihan kata-katamu tidak pernah biasa. Seperti mendengar puisi, aku ingin membuat kamu bicara lagi dan lagi. Kalau aku bilang sesuatu bagus, kamu akan bilang itu indah. Kalau aku memilih kata sedih, kamu akan memilih sedu, sendu, atau gulana. Selalu ada kejutan di setiap obrolan. Kosa kata yang selalu baru seakan-akan sedang melagu.

Orang-orang membuat julukan, kamu penyair dari lahir. Aku kira, kamu lebih cocok disebut seni yang hidup. Seni yang eksentrik, dan bagiku kamu insan yang menarik. Aku selalu diam waktu kamu bicara di antara teman-teman, bergurau dan bercanda. Aku selalu diam karena aku ingin lebih dalam menikmati semua pilihan-pilihanmu akan kata setiap ucapnya. Terutama, saat kamu membahas sebuah lukisan. Aku seakan-akan sedang menontonmu melukis ulang dengan berbicara. Indah. Aku ingin mendengarnya lebih lekat biar termemori lebih pekat, kemudian akan kuputar lagi dan lagi, nanti, di dalam kepala tanpa mengenal penat.

Malam itu, selepas acara screening film di kampus aku terjebak dalam obrolan berdua denganmu. Selain terbenteng oleh kerja sama membuat esai singkat dan tenggat waktu yang sudah dekat, aku dijebak oleh kafein yang terlalu kuat. Aku tidak tahan untuk menjaga diam dan lebih menikmatimu bersyair dengan kasual seperti biasanya. Dua gelas mochaccino cukup membuatku menjadi lebih terbuka, mataku lebih terjaga, dan mulutku lebih bersuara.

"Banyak yang bilang film tadi ngantukin, gila sih mereka kayanya pada ga punya mata dan hati," kataku sambil geleng-geleng kepala. Beberapa temanku yang pernah nonton film tersebut pernah bilang, dia hampir tertidur menonton kisah cinta musikal itu.

"Setuju. Latarnya indah sekali, kisah cintanya realistis. Kalau ada yang tidak menikmati film ini, antara dia wong gendeng atau buta. Buta mata lahir dan mata batin." Tanganmu melayang-layang ke kanan kiri saat kamu bicara. Ekspresi unikmu ternyata tidak hanya ditunjukkan lewat kata.

Aku mendeskripsikan panjang lebar tentang cantiknya latar-latar dari film yang sebelumnya diputar. Tentang colour grading-nya yang rupawan. Tentang musik latar yang menawan. Mungkin sekejap aku sempat menangkap ketakjubanmu mengetahui aku bisa bicara sepanjang itu.

"Saya gak nyangka kamu bisa bicara sepanjang ini. Saya hampir ngira kamu tunawicara," begitu katamu sambil mengangkat alis. Itu pertama kalinya kita bicara berdua, biasanya aku hanya memerhatikanmu di antara diskusi kelompok. Diam-diam.

"Menurut lo?" Aku masih menyibukkan diriku dengan mengetik beberapa kalimat di laptop, sedangkan kamu menuliskan gagasanmu di buku tulis bersampul kulit.

Antara dua gelas kopi itu yang gila atau kamu yang gila, aku tidak lagi takut dikira berbeda. Aku menyuarakan semua kata di otakku, tanpa disaring, tanpa dipilah. Aku tidak ingat jelas bagaimana reaksimu, yang aku ingat aku tidak banyak mendengarmu bicara. Hanya suara goresan pena, gumaman, dan tanggapan sesekali. Mungkin setelah sekian lama kamu yang menumpahkan warna-warni ke dalam cawanku, malam itu saatnya aku yang berbagi warnaku ke atas paletmu. Kita seakan menyelesaikan lukisan kita malam itu. Aku memberimu warna yang tidak kamu punya, begitu sebaliknya. Pada akhirnya, karya kita sempurna.

Word SaladsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang