Aku selalu suka ketika langit sedang labil. Ketika ia tidak mampu mempertahankan kelamnya, ataupun terangnya. Ketika ia mulai memerah, lalu menjadi jingga atau ungu, lalu kuning atau biru. Pilihan warnanya hari itu tidak ada yang tahu. Terbongkarnya rahasia itu selalu membuatku menunggu-nunggu.
Betapa indahnya, betapa cantiknya. Ketika bundaran mentari muncul sedetik setelah kelabilannya. Betapa menawannya saat sabit ataupun lingkar purnama menyapa setelah ketidakstabilannya. Melengkapi kejutan yang membuat banyak jiwa berseri.
Tidak ada yang lebih menenangkan dibanding menerima dan menyimpan kekaguman atas langit. Dia seperti percikan kembang api yang tidak pernah tentu, tapi selalu seru. Dia seperti tingkah seorang bayi yang setiap hari, selalu ada yang baru.
Langit memberi buncahan semangat untuk memulai pagi. Dia juga dengan tabahnya memberi sejuk untuk menutup hari supaya kita dengan tenang bisa mencerna hidup lebih dalam. Termasuk menyesapi semua rasa yang disuguhkan semesta.
Termasuk sayang, termasuk lara, termasuk cemburu. Aku menyimpannya bersama langit. Kami sama dalam ketidakstabilan, kami sama dalam kediaman. Aku tidak tahu apakah aku boleh mengagumi langit sedalam ini. Dia terlalu sempurna. Terlalu megah.
Tidak ada kata yang cukup jelas untuk menjelaskannya. Tidak ada yang bisa memeluknya cukup erat. Tidak ada analogi yang sempurna menandinginya dengan setara. Langit dengan genapnya membuatku jatuh cinta, setiap pagi dan setiap senja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Word Salads
Short Story#1 Prosa - 19/9/18 #6 Puisi - 24/9/18 Sayur mayur kata yang dibalut saus musikal. Sebuah daftar putar berisi musik melankolis dan cerita (sedikit) muram. Musik-musik dalam cerita ini milik penciptanya masing-masing. Aku hanya menuliskan cerita-cerit...