Aku menyimpan perasaan yang sangat dalam dengan kota ini. Kebanyakan manusianya, kebanyakan tempat-tempat yang dimilikinya, kebanyakan suasana di setiap sudutnya. Perasaan yang tidak lepas dari lara.
Aku ragu mengapa aku merasa cemas pagi ini. Barang kali karena kafein yang terlalu banyak atau karena seseorang yang kutemui semalam. Salah satu di antaranya membuatku ingin lenyap.
Dia seseorang yang aku kenal beberapa tahun lalu. Banyak hal tentangnya yang membuatku ragu akan kekukuhanku sendiri. Aku melepaskan sisa-sisa kepercayaan yang aku punya, namun dia justru membuatku meragukan banyak hal. Pertemuan pandang kemarin malam seakan-akan membawa serta semua hal itu.
Keyakinan yang aku kira sudah aku miliki beberapa tahun belakangan, ternyata tidak pernah ada sama sekali. Semua senyum yang aku kira sudah aku kuasai, ternyata kepura-puraan yang tidak jadi nyata. Semua orang melakukannya. Termasuk dia, siapa tahu. Jantungku berdebar. Melihat jalanan kota yang ribuan kali sudah aku lewati. Bertemu orang-orang yang itu-itu lagi. Aku takut. Takut sekali. Semua pertahananku runtuh dan aku tidak punya apa-apa lagi. Karena dia. Atau, bukan hanya karena dia, tapi juga seluruh yang ada di kota ini. Semuanya bertumpuk menggunung sampai aku sadar. Pagi ini, aku akhirnya sadar rasa ini adalah benci.
Kadang aku pun heran, kapan bibir ini bisa lebih jujur. Kapan mata ini, yang bagi orang-orang adalah jendela jiwa, bisa lebih jernih menampakkan isinya. Seseorang yang kutemui itu mengajarkanku untuk bersandar pada kedua kakiku sendiri. Dia menyadarkanku tidak ada satu pundak pun di dunia ini yang tidak rapuh, menjelaskan mengapa kepercayaan kami menguap sia-sia. Karena... karena tidak ada satu pun tangan yang cukup kokoh untuk dipercaya.
Pagi ini aku sedang meminum sprite dingin sambil mendengar lagu-lagu Blur. Pagi. Bagiku pukul 12 sekarang adalah pagi. Aku sudah cukup lama lari dari kota ini. Lari ke kamarku sendiri. Memikirkan banyak tanya, menyaring banyak rasa. Meski dalam sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk berkontemplasi, lingkaran kebingungan itu belum terputus juga. Dan semalam, kedamaian yang perlahan aku tumpuk pun jadi runtuh sekaligus.
Dunia ini, temanku... Dunia ini penuh dengan kepura-puraan. Pura-pura bahagia, pura-pura sedih, pura-pura jadi korban, pura-pura jadi bijaksana. Aku pun sedang pura-pura... Aku pura-pura sedang memikirkan hidupku, padahal aku hanya sedang menyesalinya. Berharap bisa memutar ulang jam pasir, menghitung mundur dari awal. Tapi, tentu aku sadar kalau waktu adalah dimensi satu arah. Bukankah begitu? Aku hanya berharap, barang kali aku bisa memilih untuk tidak pernah bertemu dengannya. Bukan karena dia jahat, tapi justru karena dia membuatku sadar akan banyak hal.
Aku benci melihat orang-orang yang kusayangi hidup dengan kekhawatiran. Aku ingin meringankan beban di pundaknya, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali membatu. Aku selalu seperti ini. Tubuhku selalu bekerja seenaknya sendiri, dia seperti insan berbeda dan aku seakan-akan hanya benalunya. Kadang aku bingung, kapan bibir ini bisa lebih jujur. Kapan mata ini bisa lebih jernih menampakkan isinya.
Ada banyak yang ingin aku lakukan, tapi tubuhku menolak. Aku ingin mengajakmu berkeliling hutan pinus sambil mendengar lagu-lagu Cavetown. Aku ingin mengajakmu makan di pasar malam dan memotretmu diam-diam dengan kamera yang paling kusayang-sayang. Aku ingin pergi ke jogging track bersamamu dengan menikmati udara subuh yang jujur. Dan temanku... Tubuh ini menolak semua itu dan lebih memilih untuk membatu.
Aku ingin bilang aku suka padamu. Aku ingin teriak aku benci padamu. Aku ingin menangis dan menekan tombol mati. Aku ingin marah dan membakar bumi. Tapi, dengan angkuhnya tubuh ini membatu. Selalu seenaknya sendiri.
Kota ini penuh kepalsuan. Tubuhku sudah menjadi bagiannya. Aku... Aku ini jiwa benalu yang terasingkan.
Aku sedang minum sprite dingin pukul 12 pagi ini di kamarku sambil mendengarkan lagu Blur yang berbunyi, "come on, come on, come on... get through it..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Word Salads
Short Story#1 Prosa - 19/9/18 #6 Puisi - 24/9/18 Sayur mayur kata yang dibalut saus musikal. Sebuah daftar putar berisi musik melankolis dan cerita (sedikit) muram. Musik-musik dalam cerita ini milik penciptanya masing-masing. Aku hanya menuliskan cerita-cerit...