Sendu menajam fajar itu. Rindu yang mengasahnya. Aku tidak sedang membual dengan kata-kata puitis dan liris. Namun, memang perjalanan kemarin membuatku tenggelam oleh rasa dan otomatis menjadi peka dengan kata-kata mesra. Perjalanan yang kita tempuh via kereta karena maskapai penerbangan tidak lagi tersedia. Tapi, entah mengapa gerbong kereta menyuguhi sesuatu yang berbeda. Ia seperti memutar-mutar kita sehingga semua seperti bercampur padu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Rasa malu, rasa sedih, dan rasa senang. Semua menyatu seiring pergerakan kereta meninggalkan kota.
Tidak pernah ada rasa seaman nyaman itu. Kita mendengarkan musik yang sama. Kadang bersenandung, kadang bercengkrama, kadang diam saja. Jeda menjadi sebuah mutiara, indah yang tersembunyikan. Karena justru, jeda membuat rasa menyerap lebih dalam dengan masa yang pas. Dia seperti mengentalkan larutan yang terlalu banyak pelarut, mengencerkan larutan yang terlalu banyak zat terlarut. Jeda membuatnya cukup.
Di siang itu, pertama kalinya aku cerita tentang buku yang kubaca dan dipandang dengan utuh. Pertama kalinya, oleh kamu. Aku tidak pernah merasa sebahagia dan sesemangat itu berbicara tentang sastra. Tentang buku yang paling kusuka, tentang penulis yang menurutku sederhana tapi istimewa. Cuma kamu yang bisa membuat percakapan seperti itu bisa menyenangkan dan mengesankan.
"Pernah ga, sih? Lo ga bisa tidur malem-malem dan tiba-tiba entah kenapa ngerasa too much inspired. In fact, sebenarnya lo cuma kebanyakan minum kopi aja sorenya."
"Yep, pernah. Sering malah."
"Haha. Aneh, ya rasanya?" kataku sambil memain-mainkan syal di leher.
"Memang, entah kenapa waktu matahari lagi jauh-jauhnya dengan kita, inspirasi justru datang berbondong-bondong menyerbu. Apa lagi kalau ditambah rintik kafein."
Langit biru muda tanpa awan hari itu sangat manis. Seperti pop ice vanilla blue yang sering dijual di kantin. Masih dengan memandangmu dari pantulan jendela entah mengapa matamu yang tertutup dan rambutmu yang mengintip-intip dari topi kupluk terasa sangat puitis.
Berjam-jam di atas kereta sore itu diakhiri dengan ajakan pulang bersama. Kamu mengantarku. Aku pun setuju. Aku tidak pernah memohon sedalam itu pada semesta agar waktu diperlambat, agar matahari diperberat, agar jalan diperpadat. Supaya perjalanan itu tidak cepat-cepat berakhir. Supaya senja bisa lebih mangkir. Supaya kami bisa mampir. Karena baru kali ini aku lebih mensyukuri waktu berdua dibanding sendiri. Berdua saat itu adalah kuantitas yang berkualitas.
Lalu kita bicara tentang Dewi Lestari yang bercerita tentang jamur-jamur di Oregon. Puisi-puisi Sapardi yang sepat manisnya susah hilang dari hati. Kemudian meliar menjadi entitas tunggal pada film Annihilation yang nikmat untuk direnungi. Aku tidak peduli rute mana yang diambil sore itu. Entah di bawa lari ke antah berantah pun aku pasrah. Kita tidak terhubung lewat mata, dengar, kecap, penghidu, maupun sentuh. Kita hanya ada di satu kabin yang sama dengan satu ide yang sama dan hasrat yang sama. Begitu cara kita bercengkrama.
Aku sepenuhnya terbuka. Kamu pun juga. Aku sepenuhnya menerima semua spektrum yang kamu suguhkan. Kamu pun begitu. Aku penasaran, barang kali kalau kita berhasil jadi satu, dunia akan meledak saking tersentaknya. Olehnya, semua itu harus ditanam dan disiram pelan-pelan. Butuh jeda yang menenangkan, biar tidak meletus lalu musnah sia-sia. Pada perjalanan itu akhirnya kita mengalah. Ia pun berakhir pelan-pelan. Kita pulang dengan harapan masih ada sepah-sepah yang bisa disesap beberapa hari ke depan.
"Sampai ketemu," ucapmu sebagai penutup perjalanan itu.
Kita tahu. Tentu, kita tahu. Sesungguhnya petualangan kita belum usai. Masih banyak waktu yang akan semesta beri, masih banyak matahari terbit yang belum memenuhi janji. Cinta boleh tidak bersyarat, tapi kepada semesta aku bersurat untuk jangan dipisahkan. Kita sadar kita sama. Dan, dengan rintangan apa pun kita tetap tahu jalan untuk kembali pada satu sama lain. Entah kapan masa itu, tidak ada satu pun yang luput dari tahu bahwa semuanya tidak perlu buru-buru. Mau diregang ataupun diciutkan, waktu akan segitu-segitu saja kalau sudah ada sabar dan percaya akan bagaimana buntutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Word Salads
Short Story#1 Prosa - 19/9/18 #6 Puisi - 24/9/18 Sayur mayur kata yang dibalut saus musikal. Sebuah daftar putar berisi musik melankolis dan cerita (sedikit) muram. Musik-musik dalam cerita ini milik penciptanya masing-masing. Aku hanya menuliskan cerita-cerit...